Para ulama kita di masa lampau dikenal mampu membangun tradisi jejaring dan relasi intelektual antara satu dengan yang lain yang cukup dialektis. Salah satu bukti eksistensi dialektika relasional ini adalah tradisi pemberian catatan apresiasi berupa taqriz atau endorsement dalam sebuah karya ilmiah atau kitab yang telah ditulis oley ulama sezaman.
Salah satu kiai yang memiliki tradisi jejaring keilmuan ini adalah Al-Maghfurlah KH. Achmad Asrori Al-Ishaqi, pendiri Pondok Pesantren Assalafi Al Fithrah, Kedinding, Surabaya. Yai Asrori (begitu beliau biasa dipanggil) selama ini dikenal sebagai seorang guru tarekat (mursyid) Al-Qadiriyah wa An-Naqsyabandiyah Al-Utsmaniyah. Estafet ke-mursyidan ini beliau teruskan dari ayahanda beliau yakni K.H. Muhammad Usman Al Ishaqi.
Dalam beberapa kitab KH. Achmad Asrori Al-Ishaqi, sejak tahun tujuh puluhan, di halaman depannya selalu ditemukan taqriz dari para ulama dan tokoh di masanya. Salah satu karya beliau berjudul Ar-Risalah Asy-Syafiyah fi Tarjamati Tsamaroti Ar Roudhoti Asy Syahiyah bi Lughoti Al Maduriyah, kitab fikih berbahasa Madura yang terbit pada tahun 1396 Hijriah atau sekira 1976 Masehi. Kitab ini ditulis dalam bahasa Madura yang halus dengan metode tanya jawab (hiwar). Sebagaimana beliau jelaskan dalam mukadimah kitab tersebut, bahwa karya tulis beliau ini merupakan jawaban dari permintaan sebagian ikhwan santri di Pondok Pesantren Darul Ubudiyah Roudhatul Muta’allimin Jatipurwo, Surabaya, pesantren salaf berlokasi di Surabaya utara yang didirikan oleh Ayahanda beliau. Jelas, tujuan utama dari ditulisnya kitab ini dengan menggunakan bahasa lokal adalah untuk memudahkan pemahaman bagi kalangan awam, sehingga Fiqih lebih membumi.
Meskipun kitab ini ditulis menggunakan bahasa Madura full teks, namun di bagian-bagian tertentu beliau memberikan catatan kaki berupa redaksi arab dari kitab yang beliau jadikan rujukan. Beberapa kitab yang beliau rujuk adalah At Tuhfah, Al Bajuri, Muhibah Dzil Fadhl, Al Iqna’, dan kitab-kitab induk Fiqih lainnya.
Pada halaman pembuka kitab ini terdapat taqriz dari tiga orang tokoh yang secara kultur dan tradisi keilmuan memiliki perbedaan. Pertama ditulis oleh KH. Abdullah Faqih Amin, kedua oleh Habib Muhammad bin Ali Al-Haddad, dan ketiga oleh Prof. H. Abdul Ghoffar Umar, wakil dekan Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Ampel Surabaya kala itu. Melihat keragaman kultur dan latar keilmuan para tokoh yang memberikan taqriz di atas, tampak bahwa KH. Achmad Asrori Al-Ishaqi memiliki jejaring keilmuan yang cukup luas, baik dari kalangan Kiai, Habaib, maupun akademisi di masanya. Berdasarkan pengamatan, KH. Achmad Asrori Al-Ishaqi tidak mencantumkan tahun berapa kitab ini beliau tulis. Namun pada sampul depan di bawah judul kitab tersebut tertulis tahun 1396 Hijriyah atau sekitar tahun 1975 Masehi.
Kemudian, pada tahun 1400 Hijriah atau 1980 Masehi, beliau juga menerbitkan karya berjudul Basya’irul Ikhwan, sebuah kitab bergenre tasawuf-tarekat. Dalam halaman depan kitab ini, terdapat dua taqriz, pertama ditulis oleh KH. Ali Maksum, Krapyak Yogyakarta, dan kedua oleh Habib Muhammad bin Ali Al-Haddad. Data ini semakin memperkuat tesis tentang cukup luasnya jejaring KH. Achmad Asrori Al-Ishaqi. Dalam salah satu kesempatan pengajian yang pernah penulis ikuti saat nyantri di Kedinding, beliau memang pernah bercerita tentang pengalaman saat mondok di pesantren Krapyak asuhan KH. Ali Maksum kala itu. Tak heran bila kemudian sang guru memberikan taqriz atas karya sang murid.
Dua kitab yang disebut di atas, ditulis oleh Kiai Asrori pada rentang tahun 70 dan 80an. Ini artinya, beliau sudah memiliki tradisi tulis menulis kitab sejak usia muda. Dalam perkembangannya, tatkala mendirikan pesantren Al-Fithrah di Kedinding Surabaya, beliau juga tercatat pernah menulis beberapa kitab, di antaranya adalah kitab berjudul Al-Baqiyatus Shalihat, yaitu kitab berisi syarah atau komentar tambahan atas karya ayahanda beliau, KH. Muhammad Usman Al-Ishaqi, berjudul An-Nuqtah fi Tahqiqir Rabithah (terbit tahun 1403 H/1983 M). Walaupun tidak ditemukan data taqriz dari para tokoh dalam halaman depan kitab ini, tetapi karya ini juga menjadi bukti bahwa beliau senantiasa membangun jejaring dan dialektika keilmuan, salah satunya, dengan cara merawat tradisi mensyarahi kitab sebagaimana dilakukan oleh para ulama terdahulu.
Kemudian, pada tahun 2007, beliau juga merampungkan karya lain, dalam bidang tasawuf-tarekat, berjudul Al-Muntakhabat fi Rabithah al-Qalbiyyah wa Silah ar-Ruhiyyah. Kitab ini terbit pertama kali dalam dua jilid, dan kemudian terbit kembali dalam edisi penyempurnaan menjadi lima jilid. Sebelum beliau wafat pada pertengahan tahun 2009 yang lalu, beliau merampungkan karya dalam bidang Tasawuf yang -menurut saya- merupakan magnum-opus beliau. Dalam kitab ini, ada beberapa tokoh yang memberikan taqriz, yaitu: 1) Al-Habib Zain bin Ibrahim bin Sumaith, Madinah, 2) Al-Habib Syaikh bin Ahmad Al-Musawa, Surabaya, dan 3) Al-Habib Umar bin Hamid bin Abdul Hadi Al-Jilani, Makkah.
Dari data ini, semakin terlihat bahwa jejaring keilmuan KH. Achmad Asrori Al-Ishaqi sangat luas. Yai Asrori adalah seorang Al–Faqih Ash–Shufi. Ulama moderat dan karismatik. Tradisi intelektual-spiritual inilah yang hendaknya dilanjutkan oleh para santri masa kini. Semoga Allah ta’ala merahmati dan menyayangi beliau beserta para keluarga dan guru-guru beliau, dan semoga kita semua senantiasa mendapatkan barokah dari beliau. Aamiin Ya Robbal alamin.