Kakawin Bhomantaka menceritakan tentang kematian Raja Bhoma dari kerajaan Trajutrisna. Nama aslinya adalah Naraka, ia dilahirkan akibat senggama antara Dewi Bumi dengan Wisnu. Itulah sebabnya ia dinamakan Bhoma yang artinya Putra Bumi. Bhoma diberi kekuatan yang tak terkalahkan oleh Brahma, dengan kekuatan tersebut ia gunakan untuk menyerang para dewa. Para resi memohon kepada Kresna agar segera membantu para pertapa di pegunungan Himalaya. Mereka sangan menderita akibat serangan yang dilakukan oleh gerombolan-gerombolan raksasa. Mendengar permohonan tersebut, Kresna terharu dan berjanji akan mengutus putranya sendiri, Samba.
Kakawin Bhomantaka ini dibagi dalam beberapa babak, di bawah ini ringkasan kisahnya:
1. Pembukaan 1-2: Prabu Kresna dan Baladewa dalam ibu kota Dwarawati diperkenalkan
2. Kepergian Samba 3-13: Samba berjumpa dengan ibunya Jambawati dan menerima dharma seorang ksatria dari Raja, sebelum meninggalkan istana
3. Dharmadewa dan Yajnawati 14-29: Kelahiran kembali dan pemberian pelajaran akan anitya
4. Sang Putri dibawa ke Istana Bhoma 30-43
5. Pernyataan Cinta Yajnawati 41-43
6. Samba sukses melarikan Yajnawati 44-49
7. Prabu Druma 50-72: Prabu Druma terusir dan berharap lindungan Kresna
8. Pernyataan Perang Bhoma 73-84
9. Perang di Rewataka 85-113
10. Perang Akibatnya 114-118
Kakawin Bhomantaka sarat dengan ajaran-ajaran yang berhubungan dengan kepercayaan kepada Tuhan (Hindu dan Buddha). Ajaran yang dibahas dalam kakawin ini mengenai anitya yang berarti ketidakkekalan atau fana. Ajaran ini terdapat pada pupuh 17 di mana Sang Gunadewa yang merupakan seorang putra pertapa yang mengajar tokoh Samba.
Kisah ini bukan merupakan happy ending karena kematian semua tokoh-tokohnya. Pesan yang disampaikan dalam kisah ini:
1. Semua usaha dan keinginan manusia harus tunduk dengan keputusan Tuhan. Dalam ajaran Jawa disebut budhi dayaning manungsa, ora bakal bisa mbedah kuthaning pasti.
2. Tidak ada yang mustahil, tergambar dari cerita kekalahan Arjuna oleh Bhoma
3. Anjuran untuk selalu belajar
Iliad
Kisah Bhomantaka disejajarkan dengan kisah Iliad oleh peneliti. Iliad disusun sekitar tahun 750-700 SM, tetapi asal-usulnya berasal setidaknya dari lima abad sebelumnya, jauh di era Zaman Perunggu Mycenae, dunia yang secara harfiah dibangkitkan oleh Iliad. Orang-orang Mycenae telah mengenal tulisan, tetapi tampaknya hanya menggunakan tulisan untuk keperluan pembukuan birokrasi di istana negara mereka.
Ketika kerajaan mereka runtuh sekitar tahun 1.200 SM, penggunaan tulisan yang terbatas itu pun hilang. Jadi dari akhir Zaman Mycenae sampai era Homeros, para penyair yang menampilkan dan mengadaptasi epik secara lisan tetap mempertahankan tradisi itu agar tetap hidup, dan membawa kenangan atas dunia Mycenaean ke zaman baru.
Kisah Iliad karya Homeros berlatar di tengah-tengah Perang Troya, pada akhir Zaman Perunggu di Yunani. Tidak diketahui apakah Perang Troya pernah benar-benar terjadi. Orang Yunani kuno percaya bahwa Perng Troya berlangsung selama sepuluh tahun. ‘Iliadsendiri menceritakan tahun kesepuluh perang, ketika kedua belah pihak sudah benar-benar muak berperang, dan pasukan Yunani sudah amat ingin pulang.
Iliaddimulai dengan perseteruan antara pemimpin pasukan Yunani, Raja Agamemnon dari Mykenai, dengan prajurit terhebat Yunani, Akhilles. Pasukan Yunan sempat memenangkan pertempuran dan membagi harta rampasan. Setiap orang memperoleh bagian, dan salah satu jarahan yang diperoleh Akhiles adalah seorang perempuan bernama Briseis untuk menjadi budaknya. Namun karena Briseis sangat cantik, Agamemnon juga menginginkannya. Ia pun merebut wanita itu dari Akhilles. Agamemnon beranggapan bahwa ia berhak melakukannya karena ia adalah pemimpin pasukan.
Akibat tindakan tersebut, Akhilles menjadi sangat marah sehingga ia tak mau lagi bertempur untuk pasukan Yunani. Ia hanya berdiam di tendanya. Tanpa bantuan Akhilles, pasukan Yunani pun mulai mengalami kekalahan. Akhirnya, sahabat Akhilles, Patroklos, memperoleh ide. Ia memakai baju zirah Akhilles dan pergi bertempur. Orang-ornag mengira bahwa ia adalah Akhilles. Sayangnya, dalam pertempuran itu Patroklos dibunuh oleh Hektor. Orang-orang pun kemudian menyadari bahwa itu bukanlah Akhilles.
Ketika Akhilles mengetahui bahwa Patroklos telah tiada, ia begitu berduka hingga akhirnya ia pun mau bertempur lagi. Pertama-tama, ia harus membalaskan dendanmnya terlebih dahulu. Ia melakukan pertarungan satu lawan satu melawan Hektor dan berhasil menang. Ia membunuh Hektor dan menyeret mayatnya dengan kereta perang hingga perkemahan pasukan Yunani. Ayah Hektor, Priamos, mendatangi perkemahan pasukan Yunani pada malam harinya. Ia meminta Akhilles mengembalikan jenazah putranya. Akhilles mengaulkan permintaan Priamos. Iliadberakhir di sini, namun kisah Perang Troya masih terus berlanjut.
Edisi Teks
Kakawin Bhomantaka juga disebut Kakawin Bhomakawya yaitu sebuah kakawin dalam Bahasa Jawa Kuna. Friederich, seorang ahli Jawa Kuna dari Prusia yang menerbitkan kakawin ini untuk pertama kalinya pada tahun 1852, menyebutnya sebagai kakawin Bhomakawya. Nama ini ada pada bait ketiga pupuh pertama kakawin. Namun pada kolofon-kolofon naskah-naskah nama yang disebutkan yaitu Bhomantaka. Selain itu dalam tradisi Jawa dan Bali, nama yang dikenal yaitu Bhomantaka.
Pada tahun 1944-1946 edisi Friederich diterjemahkan dalam Bahasa Belanda yang kemudian dalam penelitian ini disebut naskah F. Tahun 1946 mengecek naskah F, dua naskah tersedia di koleksi naskah oriental Perpustakaan Leiden, yang kemudian disebut naskah A dan B. Di tahun yang sama, terbit dalam edisi Bahasa Belanda oleh Teeuw berdasarkan naskah F. Kemudian tahun 2001 diterbitkan edisi teks dalam Bahasa Inggris dengan tambahan tiga naskah. Sehingga, teks Kakawin Bhomantaka edisi terbaru karya A. Teeuw dan S. O. Robson ini menggunakan enam naskah, yaitu:
1. Naskah Edisi Friederich sebagai naskah F
2. Naskah A (Cod. Or. 5036) berupa lontar 106 lempir: Lombok Collection
3. Naskah B (Cod. Or. Leiden 3735) berupa lontar 399 lempir: Van der Tuuk Collection
4. Naskah C (Cod. Or. Leiden 4141) berupa paper manuscript 440 halaman: Van der Tuuk Collection
5. Naskah D (Cod. Or. Leiden 22718) berupa lontar 161 lempir: Boman Gede
6. Naskah E (Cod. Or. Leiden 23756) berupa lontar 178 lempir: Bali Timur
Antara naskah yang satu dengan yang lain dalam penelitian ini mempunyai keterkaitan. Naskah F berbeda dengan yang lain, namun peneliti tetap menyebutnya sebagai manuskrip meskipun secara teknik penelitian terdahulu tersebut tidak benar. Sementara itu, terdapat permasalahan tekstual di Canto 21. Naskah ABDF ditemukan ketidakteraturan, keunikan terlihat pada CE secara signifikan berlawanan dengan ABDF. Sulit untuk memutuskan bacaan mana yang lebih disukai. Terutama karena alas an praktis, peneliti memutuskan untuk menerima pembacaan ABCD.
Di sisi lain, naskah E sampai Canto 82 mempunyai varian dengan B, selebihnya hanya varian ejaan yang tidak signifikan. Keterkaitan spesial terjadi pada E dan F, dari Canto 83 dan seterusnya ada sejumlah kasus yang secara signifikan lebih tinggi di mana E memiliki varian yang sama dengan F, terhadap empat manuskrip lainnya.
Perbedaan ejaan hampir tidak pernah signifikan untuk membangun hubungan antara naskah. Tidak ada kemunculan kesalahan umum yang sering terjadi, sehingga membedakan dua atau lebih manuskrip dari yang lain. Dalam filologi klasik sebagai kriteria utama untuk menentukan hubungan antara naskah dan pada akhirnya membuat sebuah stemma atau silsilah naskah sebagai dasar edisi kritik.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode campuran. Dalam kasus Bhomantaka ini tidak ada bukti bahwa satu manuskrip atau sekelompok manuskrip lebih mendekati keaslian dibanding yang lain. Peneliti menggunakan semua sumber naskah yang tersedia untuk memproduksi naskah baru.
Kakawin ini merupakan yang terpanjang dalam Sastra Jawa Kuna, panjangnya 1492 bait. Menceritakan kisah peperangan antara Prabu Kresna dan sang raksasa Bhoma. Tidak diketahui kapan dan siapa penulisnya. Namun menurut P.J. Zoetmulder (1974) kakawin ini merupakan yang terpanjang yang berasal dari Jawa Timur dan disejajarkan dengan kakawin Arjunawiwaha untuk masa penggubahannya.