Edit Content

Tabibah, Bedah, dan Kasus Hidrosefalus: Jejak Awal Medis Perempuan dalam Manuskrip Abad ke-15

Sejarah kedokteran sering kali dianggap didominasi oleh tokoh laki-laki, namun naskah abad ke-15 dari Turki menunjukkan fakta berbeda. Dalam manuskrip “Cerrahiyyetü’l-Haniyye” atau Imperial Surgery, digambarkan seorang bidan perempuan melakukan prosedur medis yang rumit. Adegan itu memperlihatkan pengeluaran janin yang meninggal akibat hidrosefalus bawaan. Peristiwa ini terjadi sekitar tahun 1466 dan terekam dalam karya Sheref ed-Din ibn el-Hağğ Ilias (atau dikenal sebagai Sabuncuoğlu). Penemuan ini menegaskan adanya keterlibatan perempuan dalam dunia medis sejak masa pra-modern.

Ilustrasi tersebut memperlihatkan seorang tabibah atau bidan perempuan tengah menangani proses kelahiran yang mengalami komplikasi serius. Kasus yang ditangani adalah hidrosefalus pada janin, kondisi di mana cairan menumpuk di dalam kepala. Akibatnya, kepala janin menjadi terlalu besar sehingga persalinan normal mustahil dilakukan. Di masa itu, intervensi medis terbatas pada upaya destruktif pasca kematian janin demi menyelamatkan ibu. Meski keras, langkah ini mencerminkan prioritas utama: keselamatan sang ibu.

Sabuncuoğlu dalam karyanya menunjukkan pemahaman klinis yang cukup maju mengenai hidrosefalus. Ia mampu membedakan antara penumpukan cairan di bawah kulit kepala dan pembengkakan lebih dalam di bawah tulang tengkorak. Untuk kasus ringan, ia menyarankan insisi kecil guna mengeluarkan cairan. Sedangkan pada kasus berat, tindakan pembedahan dilakukan dengan penuh kehati-hatian. Ia juga menekankan pentingnya menjaga agar perdarahan tidak berlebihan.

Kewaspadaannya terhadap perdarahan memperlihatkan kesadaran akan kondisi fisiologis bayi dan ibu. Bayi memiliki cadangan darah yang terbatas, sehingga setiap pendarahan besar bisa mematikan. Oleh sebab itu, Sabuncuoğlu menyarankan agar insisi dilakukan secara terukur, baik linear maupun berbentuk salib. Prosedur ini dilakukan sesuai lokasi pembengkakan—apakah di bagian belakang, samping, atau atas kepala. Hal ini menunjukkan pendekatan ilmiah yang berorientasi pada detail anatomi.

Selain itu, ia juga memberikan arahan mengenai perawatan pascaoperasi. Balutan disarankan menggunakan minyak zaitun dan anggur untuk mencegah infeksi. Kombinasi tersebut dipercaya memiliki efek antiseptik pada masa itu. Dengan cara ini, luka diharapkan tetap bersih dan memperkecil risiko sepsis. Meski sederhana, panduan ini memperlihatkan adanya konsep perawatan medis yang terstruktur.

Yang menarik, Sabuncuoğlu tidak hanya membahas hidrosefalus pada bayi yang lahir hidup. Ia juga menyinggung kasus obstetri, ketika janin dengan kepala besar tidak mungkin keluar melalui jalan lahir. Dalam situasi seperti ini, ia merekomendasikan penggunaan alat bedah khusus. Instrumen tersebut antara lain berupa pengait, alat penghancur, dan pisau bedah. Tujuannya adalah mengecilkan ukuran kepala janin agar dapat dikeluarkan.

Dari segi moral, tindakan ini mungkin terlihat keras bagi standar modern. Namun bagi masyarakat abad pertengahan, keselamatan ibu adalah prioritas utama. Hidrosefalus dianggap sebagai hambatan mekanis dalam persalinan, bukan sebagai penyakit yang bisa disembuhkan. Oleh sebab itu, prosedur medis lebih berfokus pada solusi praktis. Keputusan tersebut memperlihatkan pertimbangan etis yang berpihak pada ibu.

Hal lain yang mencuri perhatian adalah peran perempuan dalam praktik medis ini. Dalam konteks dunia Arab-Turki, perempuan yang berprofesi sebagai tabibah sudah dikenal sejak lama. Mereka menjadi jembatan penting karena laki-laki sulit mengakses tubuh perempuan, terutama dalam persalinan. Kehadiran tabibah memungkinkan prosedur medis dilakukan dengan lebih aman secara sosial maupun budaya. Gambar dalam manuskrip ini menegaskan peran vital tersebut.

Keberadaan bidan perempuan menunjukkan bahwa ilmu kedokteran tidak sepenuhnya monopoli laki-laki. Meski jumlah mereka mungkin tidak banyak, kontribusinya besar dalam bidang kebidanan dan kesehatan perempuan. Para tabibah berperan bukan hanya dalam kelahiran normal, tetapi juga menangani komplikasi berbahaya. Hal ini sekaligus membantah anggapan bahwa perempuan hanya berperan pasif dalam sejarah medis. Sebaliknya, mereka tampil sebagai praktisi berpengalaman.

Ilustrasi dalam manuskrip “Imperial Surgery” juga memberi gambaran awal tentang dokumentasi medis. Sabuncuoğlu berusaha menggambarkan kondisi hidrosefalus dengan detail visual. Hal ini menjadikan naskah tersebut sebagai salah satu referensi tertua yang mendokumentasikan kelainan bawaan secara anatomi. Lebih dari itu, ia mencoba mengaitkan pengetahuan teoritis dengan praktik lapangan. Inilah salah satu warisan penting bagi sejarah kedokteran dunia.

Penggunaan alat bedah yang digambarkan juga cukup mengejutkan. Alat seperti pengait dan penghancur kepala janin mungkin terdengar mengerikan. Namun pada zamannya, instrumen ini mencerminkan inovasi untuk menyelamatkan nyawa. Bagi Sabuncuoğlu, penguasaan instrumen sama pentingnya dengan pemahaman anatomi. Hal ini membuktikan bahwa teknologi medis sudah berkembang jauh sebelum era modern.

Secara medis, penanganan hidrosefalus yang ia jelaskan menunjukkan kesadaran akan kompleksitas tubuh manusia. Ia membedakan kasus berdasarkan lokasi dan tingkat keparahan. Ia juga menekankan pentingnya tidak merusak pembuluh darah besar. Semua itu menandakan adanya pemikiran sistematis dalam dunia medis. Dengan begitu, praktik medis kala itu tidak sepenuhnya bergantung pada coba-coba.

Kontribusi Sabuncuoğlu juga terletak pada cara ia menempatkan perempuan sebagai pelaku medis. Ia tidak menghapus peran tabibah dari ilustrasi, melainkan justru menonjolkannya. Artinya, ia mengakui kehadiran mereka dalam dunia kedokteran. Ini sangat jarang ditemukan dalam karya medis abad pertengahan. Dengan demikian, manuskrip ini juga menjadi dokumen sosial selain dokumen medis.

Bagi dunia modern, naskah ini memberi inspirasi besar. Ia menunjukkan bahwa praktik kedokteran sudah melibatkan aspek etika, teknik bedah, dan gender sejak ratusan tahun lalu. Manuskrip ini juga mengingatkan bahwa kemajuan medis dibangun dari berbagai tradisi dan budaya. Peran tabibah membuktikan bahwa perempuan sejak lama ikut menentukan arah perkembangan ilmu kesehatan. Semua ini patut diapresiasi sebagai bagian dari sejarah global.

Akhirnya, kisah tentang hidrosefalus dalam naskah abad ke-15 ini menjadi saksi perjalanan panjang dunia medis. Ia memperlihatkan bagaimana para dokter dan tabibah berjuang dengan keterbatasan alat dan pengetahuan. Namun mereka tetap berusaha mencari solusi terbaik bagi pasien. Meski caranya berbeda dengan standar modern, semangat ilmiah dan kepedulian mereka tidak bisa diabaikan. Dari situlah, pondasi kedokteran modern mulai terbentuk.

 

 

 

 

Sumber: CSMBR

Share:

Facebook
Twitter
Email
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Social Media

Popular Post

Get The Latest Updates

Subscribe To Our Weekly Newsletter

No spam, notifications only about new products, updates.
Kategori
On Key

Related Posts