Manuskrip kuno selalu menyimpan kisah yang jauh melampaui lembaran kertasnya. Salah satunya adalah Sarḥ al-ʿUyūn fī Sharḥ Risālat Ibn Zaydūn karya Ibn Nubāta al-Miṣrī. Karya ini bukan sekadar komentar sastra, tetapi juga catatan emosional atas surat cinta yang legendaris. Surat itu ditulis oleh penyair besar Andalusia, Ibn Zaydūn, untuk kekasihnya Wallāda bint al-Mustakfī. Kisah cinta, politik, dan seni berpadu dalam sebuah teks indah yang kini abadi dalam sejarah.
Ibn Zaydūn menulis surat tersebut dari balik jeruji penjara. Ia ditahan karena intrik politik, sementara cintanya kepada Wallāda penuh gejolak dan kerinduan. Dalam surat itu, ia menuangkan perasaan pilu akibat perpisahan. Kata-katanya dipenuhi rindu, penyesalan, dan harapan untuk bersatu kembali. Surat itu kemudian menjadi karya sastra klasik dalam genre epistolari Arab.
Ibn Nubāta al-Miṣrī, seorang penyair Mamluk, kemudian menulis komentar atas surat ini. Ia hidup antara tahun 686–768 H, dan dikenal sebagai “Amir Penyair Timur”. Dengan kepiawaiannya, ia menafsirkan setiap ungkapan cinta Ibn Zaydūn. Penjelasan itu tidak hanya menyingkap makna, tetapi juga memberikan konteks budaya dan sejarah. Hasilnya, lahirlah Sarḥ al-ʿUyūn yang kaya nilai sastra.
Keindahan manuskrip ini semakin nyata dalam bentuk fisiknya. Ditulis dengan khat naskh yang rapi, teks dihiasi bingkai dan sentuhan emas. Setiap halaman tampak seperti karya seni, bukan sekadar tulisan. Manuskrip ini kini tersimpan di Perpustakaan Raghib Pasha, Istanbul, dengan nomor 1126. Jumlahnya mencapai 123 lembar ganda yang terawat baik.
Komentar Ibn Nubāta bukan hanya catatan akademik. Ia memadukan prosa, puisi, dan kisah-kisah anekdot yang hidup. Pembaca seakan diajak masuk ke dalam dunia emosional Ibn Zaydūn. Bahkan, setiap catatan memberi napas baru bagi surat cinta yang berusia berabad-abad itu. Hal inilah yang membuat manuskrip ini tetap segar dibaca hingga kini.
Dalam proses pelestarian, ada beberapa naskah berbeda yang dijadikan rujukan. Salah satunya adalah salinan di perpustakaan Taimuriyah yang ditulis pada 1080 H. Ada pula naskah berhias di Dar al-Kutub Mesir pada tahun 1252 H. Sementara itu, ada versi lain yang tidak lengkap dari abad ke-11 H. Bahkan, sebuah cetakan tua dari Alexandria tahun 1290 H turut dijadikan acuan.
Seorang sarjana modern, Muhammad Abū al-Faḍl Ibrāhīm, melakukan penelitian serius atas teks ini. Pada tahun 1964, ia menerbitkan edisi kritis di Dār al-Fikr al-ʿArabī, Kairo. Edisinya memanfaatkan tiga manuskrip dan satu cetakan lama sebagai sumber. Hasil ini membuka akses baru bagi pembaca modern. Namun, tak luput pula dari kritik akademisi.
Kritik itu datang karena edisi tersebut dianggap kurang menyelami latar sastra Ibn Zaydūn sendiri. Padahal, memahami surat cinta ini tak bisa dilepaskan dari biografi penyairnya. Politik, rivalitas, dan kehidupan pribadi Ibn Zaydūn sangat memengaruhi tulisannya. Tanpa konteks itu, penafsiran terasa kurang utuh. Karena itulah, penelitian lebih lanjut tetap diperlukan.
Selain edisi 1964, sebenarnya teks ini telah berulang kali dicetak sejak abad ke-13 H. Di antaranya cetakan Bulaq tahun 1278 H, Alexandria tahun 1290 H, dan Al-Azhariyah tahun 1305 H. Ada pula edisi cetak di Istanbul pada 1257 H. Setiap edisi memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Variasi ini menunjukkan betapa pentingnya teks tersebut di dunia Arab.
Perjalanan manuskrip ini juga memperlihatkan perhatian besar dunia Islam pada warisan sastra Andalusia. Meski ditulis dalam konteks politik abad pertengahan, kisahnya tetap relevan. Surat cinta Ibn Zaydūn tidak hanya tentang asmara, tetapi juga tentang kehormatan dan identitas. Wallāda bint al-Mustakfī bukan sekadar kekasih, tetapi juga simbol kebebasan perempuan terpelajar. Hubungan mereka adalah simbol tarik-menarik antara cinta pribadi dan realitas sosial.
Dari sisi sastra, Sarḥ al-ʿUyūn memperlihatkan interaksi indah antara teks asli dan komentar. Ibn Nubāta berhasil menghidupkan kembali perasaan yang terkandung dalam surat itu. Ia tidak sekadar menjelaskan kata, tetapi juga merasakan makna di baliknya. Hal ini menjadikan karyanya bukan sekadar ulasan, melainkan dialog kreatif antarpenulis. Inilah yang membuatnya tetap dipelajari hingga sekarang.
Kini, dengan hadirnya teknologi digital, manuskrip berharga ini lebih mudah diakses. Salinan digitalnya tersedia secara terbuka untuk penelitian dan pembelajaran. Hal ini membuka peluang bagi akademisi maupun pecinta sastra. Siapa pun bisa menyelami jejak cinta Ibn Zaydūn lewat perangkat digital. Digitalisasi menjadi jembatan antara warisan klasik dan dunia modern.
Keberadaan manuskrip ini juga menegaskan pentingnya pelestarian budaya tertulis. Banyak karya klasik hilang ditelan zaman karena tidak dijaga. Namun Sarḥ al-ʿUyūn berhasil bertahan melewati abad-abad panjang. Dari Andalusia hingga Kairo, lalu ke Istanbul, naskah ini tetap hidup. Ia adalah saksi bisu perjalanan peradaban Islam lintas wilayah.
Sebagai karya sastra, naskah ini bukan hanya milik dunia Arab. Ia juga milik dunia, karena berbicara tentang rasa cinta yang universal. Surat Ibn Zaydūn mengingatkan kita bahwa kerinduan, penyesalan, dan pengharapan adalah perasaan manusiawi. Komentar Ibn Nubāta mengajarkan bahwa karya klasik selalu bisa diberi makna baru. Dengan demikian, ia terus hidup di hati pembacanya.
Akhirnya, manuskrip Sarḥ al-ʿUyūn adalah warisan sastra yang memadukan cinta, politik, dan sejarah. Ia mengajarkan kita bahwa teks lama bisa tetap relevan di masa kini. Kisah cinta yang lahir dari penjara itu kini menginspirasi generasi digital. Melalui edisi-edisi cetak dan digitalisasi, ia terus menyebarkan pesonanya. Seperti cinta yang tak lekang waktu, manuskrip ini akan selalu hidup.
Sumber: Mesut Idriz – SIFHAMS