Edit Content

Theodore Abū Qūrrah: Jembatan Teologi Kristen Arab pada Era Islam Awal

Theodore Abū Qūrrah dikenal sebagai salah satu teolog Kristen paling berpengaruh pada abad ke-8 dan ke-9. Ia hidup pada masa transisi penting, ketika bahasa Arab mulai menggantikan bahasa Yunani dan Suryani dalam literatur Kristen. Perubahan ini mencerminkan dinamika sosial dan politik di bawah kekuasaan Kekhalifahan. Abū Qūrrah menjadi pionir dalam menulis literatur Kristen dalam bahasa Arab, bukan sekadar menerjemahkan karya lama. Dengan demikian, ia menjadi figur kunci dalam sejarah intelektual Kristen Timur.

Abū Qūrrah berperan penting dalam membangun tradisi tulisan Kristen Arab yang kokoh. Ia bukan hanya seorang penerjemah, tetapi seorang kreator yang berani menyusun karya-karya baru. Bahasa Arab memberinya akses untuk menjangkau komunitas Kristen yang telah kehilangan keterikatan dengan bahasa leluhur mereka. Melalui karyanya, ajaran patristik disampaikan kembali dengan cara yang relevan bagi umat Kristen di bawah pemerintahan Islam. Hal ini menjadikannya jembatan antara tradisi Yunani kuno dan konteks Arab baru.

Salah satu motivasi Abū Qūrrah menulis dalam bahasa Arab adalah meningkatnya dominasi bahasa tersebut di seluruh wilayah Kekhalifahan. Sebagai minoritas dalam dunia Islam, komunitas Kristen dituntut untuk beradaptasi agar tetap bertahan. Penulisan literatur iman dalam bahasa Arab menjadi kebutuhan strategis, bukan hanya pilihan teologis. Kehadiran karya-karya ini memastikan kesinambungan tradisi Kristen dalam medium bahasa baru. Dengan demikian, identitas Kristen tetap terpelihara di tengah arus Arabisasi.

Pertanyaan mendasar yang muncul adalah: apakah teologi Kristen berubah total setelah hadirnya Islam? Abū Qūrrah menjawab dengan menegaskan bahwa tradisi lama tidak ditinggalkan, melainkan diperkaya. Ia tidak sekadar menyalin doktrin kuno, tetapi menyusunnya kembali dalam bentuk argumentasi apologetik. Dengan strategi ini, ajaran kuno tetap relevan di tengah tantangan baru. Abū Qūrrah menghubungkan iman purba dengan realitas Islam yang berkembang pesat.

Salah satu aspek penting dalam karya Abū Qūrrah adalah perannya dalam apologetika Kristen. Ia menulis pada masa ketika Kristen tidak lagi memiliki supremasi politik maupun kultural. Islam menjadi agama dominan, sementara Gereja Ortodoks tidak berkuasa penuh atas komunitas Kristen lain. Dalam kondisi ini, teologi apologetik menjadi sarana mempertahankan iman. Abū Qūrrah menjawab kebutuhan tersebut dengan penjelasan yang logis dan kontekstual.

Latar belakang Abū Qūrrah di kota Edessa (Urfa) juga berpengaruh pada pandangannya. Edessa adalah pusat intelektual Kristen yang lama berinteraksi dengan budaya Yunani dan Suryani. Dari sini, ia mewarisi tradisi teologi patristik yang kaya. Namun, ia juga menyaksikan perubahan besar akibat ekspansi Islam. Dengan posisi unik ini, ia mampu menghubungkan tradisi lama dengan realitas baru secara efektif.

Dalam menghadapi Islam, Abū Qūrrah memberi perhatian khusus pada isu Trinitas. Ia menjelaskan bahwa Kristen tidak menyembah tiga Allah, melainkan satu Allah dengan tiga hipostasis. Argumen ini diulang berkali-kali untuk melawan tuduhan politeisme. Ia menggunakan Kitab Suci sebagai dasar untuk membuktikan keabsahan doktrin tersebut. Penjelasannya menjadi cara mempertahankan keimanan dalam masyarakat yang menolak konsep Trinitas.

Abū Qūrrah menekankan bahwa Trinitas bukanlah bentuk politeisme yang memisahkan Allah menjadi tiga bagian. Sebaliknya, hubungan antara Bapa, Putra, dan Roh Kudus bersifat kodrati, bukan terpisah. Ia menggambarkan bagaimana hipostasis berbeda tetapi tidak tercerai-berai. Bapa adalah sumber, tetapi Putra dan Roh Kudus tetap memiliki kodrat ilahi yang sama. Dengan cara ini, ia menegaskan kesatuan dan keilahian Trinitas secara bersamaan.

Selain Trinitas, isu Kristologi juga menjadi fokus penting. Islam menolak keilahian Yesus, dan menyebutnya makhluk ciptaan. Abū Qūrrah menegaskan bahwa Sabda Allah bukan ciptaan, melainkan Allah itu sendiri. Dengan memakai terminologi Alquran, ia menjelaskan bahwa Firman Allah bersifat kekal. Perbedaan pandangan inilah yang membuat Kristologi menjadi titik pertentangan utama.

Menurut Abū Qūrrah, Firman Allah tidak dapat dipisahkan dari Allah. Ia menolak pandangan bahwa Firman hanyalah bagian dari Allah atau sesuatu yang diciptakan. Kristus adalah Firman yang menjadi manusia, sehingga Ia tetap ilahi. Abū Qūrrah membedakan antara “sabda” yang tertulis dan “Sabda” yang berinkarnasi. Pemahaman ini menjadi dasar dari argumentasi Kristologisnya terhadap Islam.

Dalam menjelaskan inkarnasi, Abū Qūrrah menekankan tujuan penyelamatan. Allah berinkarnasi bukan sekadar mengutus nabi, melainkan menghadirkan diri-Nya sendiri. Melalui inkarnasi, manusia dapat mengenal Allah secara langsung. Kritik terselubung muncul terhadap konsep tauhid Islam, yang dianggap terlalu menekankan jarak mutlak antara Allah dan manusia. Inkarnasi menjadi jawaban Kristen atas kebutuhan relasi yang intim dengan Allah.

Isu penyaliban juga mendapat perhatian khusus. Abū Qūrrah menjelaskan bahwa keilahian tidak pernah menderita, melainkan kemanusiaan Kristus yang mengalami penderitaan. Ia menggunakan analogi sederhana untuk menjelaskan hal ini, misalnya emas dalam kotak kayu yang terbakar, tetapi emasnya tetap utuh. Dengan analogi ini, umat Kristen dapat memahami bagaimana Kristus menderita tanpa merusak keilahian-Nya. Penekanan pada dualitas kodrat ini konsisten dengan ajaran Konsili Khalsedon.

Abū Qūrrah tidak hanya melanjutkan tradisi lama, tetapi juga berani menyintesis gagasan baru. Ia mengolah warisan patristik untuk menjawab tantangan zamannya. Polemik anti-Arian digunakan kembali untuk menghadapi Islam yang menolak keilahian Yesus. Ia memanfaatkan kredo ekumenis sebagai dasar argumentasi. Dengan demikian, ia menjadikan tradisi kuno sebagai senjata untuk menghadapi realitas kontemporer.

Keberanian intelektual Abū Qūrrah memperlihatkan peran vitalnya bagi Kristen Timur. Ia berhasil membangun literatur Arab Kristen yang kokoh, sekaligus mempertahankan kesinambungan ajaran klasik. Karyanya memberi bekal bagi generasi Kristen setelahnya untuk menghadapi hegemoni Islam. Melalui tulisannya, ia menjadi penghubung antara dua zaman: pra-Islam dan pasca-Islam. Tidak berlebihan jika ia disebut sebagai jembatan patristik antara Timur dan Arab.

Kesimpulannya, Theodore Abū Qūrrah adalah tokoh sentral dalam sejarah teologi Kristen Arab. Ia berhasil menggabungkan tradisi Yunani, Suryani, dan Arab dalam sebuah sintesis baru. Dengan karya-karyanya, ia memastikan identitas Kristen tetap hidup di bawah bayang-bayang Kekhalifahan. Relevansi pemikirannya masih terasa hingga kini, terutama bagi komunitas Kristen Timur Tengah. Penelitian lebih lanjut tentang dirinya akan memperkaya pemahaman kita tentang sejarah lintas agama dan budaya.

 

 

 

 

 

Referensi

Griffith, Sidney H. (1997). Theodore Abū Qurrah: A Christian Theologian in the Islamic World of the Ninth Century. Aldershot: Ashgate.

Griffith, Sidney H. (2008). The Church in the Shadow of the Mosque: Christians and Muslims in the World of Islam. Princeton: Princeton University Press.

Samir, Khalil (1994). “The Christian Arabic Apologetics during the Abbasid Period.” Islamochristiana, 20, 65–82.

Noble, Samuel. (2014). Theodore Abū Qurrah’s Arabic Writings: Texts and Contexts. PhD Dissertation, Yale University.

Sahas, Daniel J. (1989). “Christian Polemics against Islam.” Byzantion, 59, 56–78.

Bavarian State Library. (Cod.arab. 1071). Manuskrip apologetik Abū Qūrrah, disalin abad ke-9 di Biara Ortodoks St. Chariton, Palestina.

Share:

Facebook
Twitter
Email
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Social Media

Popular Post

Get The Latest Updates

Subscribe To Our Weekly Newsletter

No spam, notifications only about new products, updates.
Kategori
On Key

Related Posts