Manuskrip kuno yang berasal dari tradisi Kristen yang berjudul “Apology of al-Kindi” dapat dijadikan sebagai teks pembanding. Manuskrip ini ditulis sebagai sebuah “karya polemik” antara Abdullah ibn Ismail al-Hashimi dan Abd al-Masih ibn Ishaq al-Kindi pada masa abad ke-9 M. Menurut para ahli, manuskrip ini tepatnya ditulis pada masa pemerintahan Khalifah al-Ma’mun (813 – 834 M), ditulis oleh seorang penulis Kristen dari kalangan Gereja Ortodoks Syria Timur.
Ada yang menduga bahwa penulis sebenarnya adalah penulis terkenal yang bernama Yahya bin ‘Adi (893 – 974 M) yang menulis banyak karya terkait pembelaan iman Kristiani dari “serangan” pihak Islam. Sementara itu, menurut riset yang dilakukan oleh Sir William Muir dalam karyanya yang berjudul “The Apology of al-Kindy: In Defence of Christianity Against Islam”, manuskrip ini ditulis pada tahun 215 H/ 830 M.
Literatur Kristiani berjudul “The Apology of al-Kindi” yang manuskripnya ditulis pada tahun 215 H/ 830 M., dapat dijadikan sebagai bukti adanya dialog teologis lintas agama pada zamannya. Manuskrip tersebut memang berisi “dialog imajiner” (bukan dialog yang sebenarnya). Namun, semangat penulisan teksnya bertujuan untuk mengedepankan titik temu konsep teologis antara ajaran Kristen dan Islam. Dengan kata lain, manuskrip ini secara “de facto” berasal dari tradisi gerejawi yang ditulis oleh seorang intelektual Kristen yang teksnya ditulis pada abad ke-9 M. Menariknya, pada teks tersebut terdapat kutipan nas yang redaksional teksnya berbunyi demikian:
“Hoc enim est testimonium verum – glorificet te Deus – quod Deus antequam saecula crearet, testificatus est, videlicet, cum in throno scriptum esset: “Non est deus nisi Deus, Mahumet nuntius Dei.”
(“Indeed, this testimony is true – may God glorify you – since God attested it before He created the world, for on the throne is written: “There is no god but God, and Muhammad is the prophet of God”).
Pada manuskrip “Apology of al-Kindi”, yang manuskripnya ditulis pada tahun 215 H/ 830 M., ternyata terdapat kutipan nas penting yang menyatakan bahwa di ‘arsy-Nya telah tertulis 2 kalimat “Syahadat” sebelum Dia menciptakan segala sesuatu. Artinya, eksistensi nama Muhammad SAW telah termaktub di ‘arasy TUHAN, dan oleh sebab dia segala sesuatu diciptakan. Dalam konteks ini, ada beberapa pertanyaan yang perlu dijawab oleh para akademisi pengkaji lintas agama dan para filolog teks klasik.
Yang ditemukan kini memang hanyalah manuskrip Injil Barnabas terjemahan bahasa Italia dan manuskrip Injil Barnabas terjemahan bahasa Spanyol, yang berdasarkan kolofonnya ternyata manuskrip tersebut berasal dari abad ke-16 M. (circa 1575 M). Kini, manuskrip “Terjemahan Injil Barnabas” tersebut disimpan di kota Wina, Austria. Ironisnya, hingga kini akses riset akademik dan penerbitan terhadap “Terjemahan Injil Barnabas” berbahasa Italia dan “Terjemahan Injil Barnabas” berbahasa Spanyol juga tidak terbuka bagi para akademisi Muslim. Padahal kemudahan akses riset terhadap kedua manuskrip tersebut sangatlah penting bagi para akademisi, terutama dalam rangka “melempangkan” upaya dialog lintas agama-agama rumpun Abrahamik.
Apapun alasannya, penyebutan nama Evangelium nomine Barnabae (lit. “Injil Barnabas”) telah termaktub dalam “Decretum Gelasianum” yang manuskripnya berasal dari abad ke-6 M. Bukankah nama Injil Barnabas tersebut faktanya memang telah termaktub dalam dokumen Dekrit Gelasius yang ditulis pada abad ke-6 M.? Artinya, eksistensi Injil Barnabas sebagai sebuah manuskrip memang sudah ada sebelum abad ke-6 M. Itulah sebabnya nama manuskrip “Evangelium nomine Barnabae” (Injil Barnabas) yang populer dan beredar di kalangan umat Kristiani pada masa itu ditetapkan secara resmi sebagai kitab Apokrif.
Berdasar pada “Decretum Gelasianum” tersebut, maka umat Kristen intelektual/ awam dapat mematuhi keputusan hukum kanonik itu, dan sekaligus memahami bahwa manuskrip “Evangelium nomine Barnabae” (Injil Barnabas) bukanlah Injil resmi yang diakui dan dikanonkan oleh Gereja.
Fakta historis membuktikan bahwa nama manuskrip “Evangelium nomine Barnabae” (Injil Barnabas) telah termaktub dalam Dekrit yang dikeluarkan oleh Paus Gelasius (492-496 M). Menariknya, ada kutipan nas yang termaktub dalam manuskrip “Apology of al-Kindi” (ca. 830 M), yang sangat mungkin teksnya berasal dari kutipan teks yang dianggap Apokrif tersebut. Fakta historis juga membuktikan bahwa para intelektual Kristen sangat berpeluang besar untuk mengakses kitab-kitab Apokrif dibanding para intelektual Muslim. Hal ini juga terkait akses riset tentang “the Dead Sea Scrolls” (Naskah Laut Mati) yang ditemukan di wilayah Qumran (Israel), dan juga akses riset tentang “the Nag Hammadi manuscripts” (manuskrip Nag Hammadi) di kawasan Mesir. Jadi, adanya relasi atau pun kutipan teks yang termaktub dalam manuskrip “the Apology of al-Kindi” dengan manuskrip Apokrif yang berjudul “Evangelium nomine Barnabae” (Injil Barnabas), maka hal itu sangat logis.
Keberadaan manuskrip-manuskrip Apokrif yang disebutkan dalam “Decretum Gelasianum” adalah bukti adanya tradisi tulis dan perkembangan khasanah intelektual Kristiani pada zamannya, sedangkan manuskrip “the Apology of al-Kindi” adalah karya intelektual dari penulis Kristen yang dilahirkan pada zaman berikutnya. Dengan demikian, hal ini penting dikaji secara filologis. Pertama, teks “kutipan” dalam manuskrip “the Apology of al-Kindi (circa. 215 H/ 830 M) tersebut memang khas Kristiani dan bersumber dari teks literatur Kristen, dan tidak ada kaitannya dengan literatur Islam. Kedua, teks “kutipan” dalam manuskrip “the Apology of al-Kindi (circa. 215 H/ 830 M) tersebut merupakan “teks transformasi” khas Kristiani yang muncul sebelum era pembukuan kitab al-Mustadrak, karya Imam al-Hakim (w. 405 H/1020 M). Kedua manuskrip tersebut ada jarak zaman sekitar 190 tahun.
Kini telah terbukti bahwa di dalam “Terjemahan Injil Barnabas” versi bahasa Italia (circa. 1575 M) ternyata fakta redaksional teksnya juga terdapat nas seperti kutipan yang termaktub dalam manuskrip “Apology of al-Kindi.” Sementara itu, berdasarkan kajian filologi, dokumen “Decretum Gelasianum” tersebut sudah ada sebelum Sang Nabi SAW dilahirkan pada tahun 571 M., dan fakta ini merujuk pada masa jabatan Paus Gelasius (492-496 M). Artinya, dokumen “Decretum Gelasianum” yang menyebut eksistensi manuskrip Injil Barnabas, faktanya dokumen tersebut telah tersimpan sekitar 75 tahun sebelum kelahiran Nabi Islam. Manuskrip Decretum Gelasianum yang kini “survive” memang merupakan manuskrip abad ke-6 M., tetapi manuskrip ini tidak berarti dibuat pada abad ke-6 M., melainkan merupakan salinan dari naskah salinan abad ke-5 M., sesuai masa akhir jabatan kepausan Paus Gelasius (492-496 M).
Fakta membuktikan bahwa dalam dokumen “Decretum Gelasianum” tersebut telah didaftar beberapa kitab yang dinyatakan Apokrif, dan di antaranya adalah kitab “Evangelium nomine Barnabae” (Injil Barnabas) dan kitab “Evangelium nomine Mathiae” (Injil Matias). Selain itu, daftar kanon kitab-kitab Apokrif yang disebutkan dalam “Decretum Gelasianum” ternyata sama dengan daftar kanon Cartage pada tahun 419 M., dan nama kitab “Evangelium nomine Barnabae” (Injil Barnabas) tercantum pada daftar kedua dokumen tersebut.
Bahkan, pada “The List of the Sixty Books” (Daftar ke-60 Kitab-kitab Apokrif) yang disusun pada abad ke-7 M., juga disebutkan adanya 3 kitab utama, yakni “Epistle of Barnabas” (Surat Barnabas), “the Gospel of Barnabas” (Injil Barnabas), dan “the Gospel of Matthias” (Injil Matias). Artinya, ketiga dokumen penting yang eksis pada abad ke V – VII M., yang mencatat nama “Evangelium nomine Barnabae” (the Gospel of Barnabas) tersebut tidak mungkin salah tulis akibat pembacaan yang salah terkait daftar kitab-kitab yang dianggap Apokrif, dan faktanya “Evangelium nomine Barnabae” (Injil Barnabas) termasuk salah satu dari daftar kitab-kitab Apokrif tersebut.
Dengan demikian, sebenarnya ada kesamaan konsep mengenai asal-usul dan sumber penciptaan alam semesta dalam perspektif Kristen dan Islam, meskipun kedua iman merujuk pada eksistensi tokok yang berbeda. Namun, keduanya ternyata berakar dari tradisi keagamaan yang sama, yakni berkaitan dengan kegamaan rumpun Abrahamik dalam konteks kultur Semitik.
Kini saatnya para pengkaji studi agama-agama rumpun Abrahamik dapat memanfaatkan kajian teks lintas keagamaan secara intensif. Dalam konteks ini, kajian intertekstualitas antara manuskrip “the Apology of al-Kindi” dengan teks Injil Yohanes perlu dieksplorasi. Kajian intertekstualitas antara manuskrip “the Apology of al-Kindi” dengan teks Injil Barnabas dan keterkaitannya dengan manuskrip kitab “al-Mustadrak al-Hakim” juga sangat penting ditelusuri secara akademik berdasarkan penerapan teori Semiotik. Ada yang disebut sebagai teks hipogram, dan ada pula yang disebut sebagai teks transformasi.
Di sinilah kita akhirnya bisa menemukan jejaring teksnya. Selain itu, kajian filologis terhadap semua teks tersebut akan menghasilkan “suntingan teks” (edisi teks) yang valid. Sementara itu, penerapan kajian tekstologi terhadap semua teks tersebut , maka penerapannya pasti fokus pada penelusuran silsilah dan otentisitas teksnya. Begitu juga dengan penerapan kajian kodikologi, hal ini akan mencakup pada kajian terhadap sejarah fisik manuskrip dan penulisannya. Namun demikian, ketiga penerapan kajian tersebut sumber primernya tetap sama, yakni merujuk pada studi manuskrip sebagai obyeknya.