Ketika kita berbicara tentang Michelangelo Buonarroti, yang langsung terlintas dalam benak banyak orang adalah patung David, langit-langit Kapel Sistina, atau lukisan The Last Judgment. Namun, sedikit yang tahu bahwa di balik ketenaran sang maestro seni Renaissance itu, tersembunyi kisah keluarga yang misterius dan penuh intrik. Salah satu bab paling menarik berasal dari hubungan korespondensial antara Michelangelo il Giovane—keponakan Michelangelo sang seniman—dengan saudaranya, Fra Francesco Buonarroti. Surat-surat mereka, kini menjadi pusat perhatian baru di Casa Buonarroti, Florence, mengungkap jalinan cerita yang sebelumnya tersembunyi rapat. Dan yang paling mencengangkan: sebagian besar surat itu ditulis dalam kode rahasia.
Fra Francesco, seorang anggota ordo religius yang tinggal di Malta, menulis lebih dari 100 surat kepada saudaranya di Italia. Surat-surat itu tidak hanya berisi kabar keluarga, tetapi juga informasi sensitif terkait urusan ordo dan mungkin juga intrik-intrik sosial-politik yang berkembang saat itu. Dalam dunia abad ke-17 yang penuh ketegangan dan ketidakpastian, korespondensi bukan sekadar sarana komunikasi, tapi juga medan untuk menyusun strategi, melindungi kehormatan, dan menjaga rahasia. Maka tidak mengherankan jika mereka memilih untuk menulis dalam sistem kode yang mereka ciptakan sendiri. Kode ini bukan hanya alat perlindungan, tetapi juga simbol kedekatan dan kepercayaan antara dua saudara yang terpisah jarak.
Penggunaan kode dalam surat menyiratkan adanya informasi yang sangat sensitif, dan mungkin pula membahayakan jika jatuh ke tangan yang salah. Malta, tempat tinggal Fra Francesco, bukanlah pulau biasa. Ia adalah benteng Ordo St. John, kelompok ksatria religius yang memiliki jaringan diplomatik dan militer di seluruh Mediterania. Dalam suasana seperti itu, apapun yang menyangkut urusan ordo bisa mengandung risiko politik atau konflik internal. Oleh karena itu, surat menjadi semacam “kotak hitam” yang harus diamankan secara maksimal.
Yang menarik, kode yang digunakan bukan hasil rekayasa matematis rumit seperti enkripsi modern, tapi pola linguistik cerdas yang menunjukkan tingkat pendidikan dan kreativitas tinggi. Dalam beberapa surat, para peneliti menemukan pola penggantian huruf, penggunaan simbol, hingga bahasa campuran yang membuat pembacaan menjadi tantangan tersendiri. Bahkan sebagian kode belum bisa sepenuhnya dipecahkan. Ini menjadikan surat-surat tersebut tak ubahnya teka-teki zaman yang menggoda para sejarawan, filolog, dan kriptografer untuk terus menggali. Ia bukan hanya warisan sastra, tapi juga warisan intelektual yang masih hidup.
Proyek terbaru di Casa Buonarroti bertujuan meneliti, menafsirkan, dan mempublikasikan surat-surat ini kepada publik. Terletak di jantung kota Florence, museum ini dulunya adalah kediaman keluarga Buonarroti, dan kini berfungsi sebagai pusat dokumentasi sejarah keluarga legendaris itu. Koleksi baru dari surat Fra Francesco menambah lapisan kedalaman pada narasi keluarga Michelangelo, membuka cakrawala baru dalam memahami relasi keluarga, politik, dan agama di masa lampau. Para peneliti bekerja keras mengidentifikasi makna tersembunyi dalam surat-surat tersebut. Karena di balik setiap baris kalimat tersembunyi fragmen sejarah yang dapat mengubah pemahaman kita tentang zaman Renaissance.
Kehadiran kode dalam surat-surat keluarga mungkin terdengar aneh di zaman sekarang, namun di masa itu, hal ini bukan hal luar biasa. Banyak kaum terpelajar, bangsawan, dan anggota gereja menggunakan sandi untuk berkomunikasi secara rahasia. Bedanya, sandi Buonarroti bersifat personal dan hanya dipahami dua orang. Ini menciptakan rasa intimasi yang unik—seolah mereka berbicara dalam bahasa yang hanya dimengerti oleh hati mereka berdua. Bahasa rahasia itu menjadi saksi kedekatan, sekaligus perlindungan dari dunia luar yang penuh bahaya.
Surat-surat Fra Francesco juga menyuguhkan gambaran kehidupan religius di Malta yang jarang diungkap dalam catatan sejarah umum. Ia mencatat persoalan keuangan ordo, dinamika antaranggota, dan bahkan konflik internal yang terjadi. Korespondensi itu menjadi dokumentasi langka tentang bagaimana seorang anggota ordo menjalani keseharian dalam tekanan spiritual dan sosial. Dalam surat itu pula terekam bagaimana Fra Francesco menyikapi perubahan zaman yang terus bergerak. Semua itu ditulis dengan nada pribadi dan emosional yang menyentuh.
Michelangelo il Giovane, yang menerima surat-surat itu, bukan sosok sembarangan. Ia adalah pelindung seni, penulis drama, dan tokoh kunci dalam menjaga warisan pamannya, Michelangelo sang seniman. Maka tak heran bila surat-surat dari saudaranya tidak hanya disimpan, tetapi dijaga dan dilestarikan. Mungkin ia tahu bahwa suatu hari nanti, surat-surat itu akan memiliki nilai sejarah yang tak ternilai. Atau mungkin, ia sekadar menyimpan kenangan—karena dalam surat-surat itu ada suara seorang saudara yang jauh tapi tetap dekat di hati.
Dari sisi keilmuan, surat-surat ini membuka potensi riset interdisipliner yang luar biasa. Sejarawan, ahli kriptografi, paleografer, hingga pakar sejarah gereja dan ordo religius semuanya bisa bergabung untuk menafsirkan isinya. Ini bukan hanya proyek penguraian teks, tapi juga pemulihan sejarah yang selama ini tersembunyi dalam lembar-lembar sunyi. Seperti menggali reruntuhan kota lama, setiap huruf yang berhasil dibaca menghadirkan dunia yang telah lama hilang. Itulah pesona sejati naskah kuno.
Di masa ketika teknologi telah menghapus batas komunikasi, keberadaan surat-surat kode ini justru mengingatkan kita betapa pentingnya menjaga rahasia dan privasi. Mereka tidak menulis untuk dunia, tapi untuk satu sama lain. Dan justru karena itulah, dunia kini membacanya dengan penuh takzim. Karena di balik surat itu bukan hanya cerita keluarga, tetapi juga pelajaran tentang kepercayaan, kecerdasan, dan cinta dalam bentuk yang paling mendalam. Inilah ironi waktu: yang dahulu ditutup rapat, kini dibuka lebar untuk dipelajari bersama.
Proyek ini juga menjadi pengingat bahwa sejarah tidak selalu disimpan di istana atau museum besar. Terkadang, ia tersembunyi dalam laci-laci rumah keluarga, dalam lembaran kertas yang hampir usang, dalam tulisan tangan yang gemetar namun penuh makna. Casa Buonarroti beruntung memiliki koleksi ini. Namun, kita sebagai masyarakat global lebih beruntung lagi karena dapat menyaksikan warisan itu kini dibuka untuk publik. Surat menjadi saksi bisu dari sejarah yang hidup.
Tak dapat dimungkiri, sisi dramatis dari surat-surat ini juga memikat publik modern. Di era digital, kisah dua saudara yang saling berkirim pesan rahasia seperti potongan naskah film. Ini menunjukkan bahwa kisah nyata seringkali lebih dramatis daripada fiksi. Tak hanya itu, surat-surat ini juga menyoroti bagaimana keluarga tetap menjadi pilar dalam dunia yang terus berubah. Bahkan bagi tokoh besar seperti Michelangelo il Giovane, komunikasi dengan saudara tetap menjadi hal yang sangat pribadi dan berarti.
Dari segi budaya, proyek ini memperlihatkan betapa pentingnya arsip keluarga dalam membangun narasi sejarah nasional maupun global. Surat-surat ini bukan hanya cerita Italia. Ia adalah bagian dari kisah Eropa, kisah Gereja, kisah peradaban. Dan karena sifatnya yang personal dan emosional, surat-surat ini mampu menembus batas zaman, menyentuh hati pembaca modern yang masih bisa merasakan kegelisahan, harapan, dan cinta yang sama. Sejarah menjadi hidup karena dituturkan lewat suara yang otentik.
Membaca surat Fra Francesco kepada Michelangelo il Giovane adalah seperti membuka jendela kecil menuju abad ke-17. Kita diajak menyelami batin dua saudara dalam dunia yang jauh berbeda dari kita, namun penuh resonansi kemanusiaan yang sama. Mereka takut, berharap, berstrategi, dan saling merindukan. Dan lewat setiap sandi yang terurai, kita tak hanya menemukan informasi, tapi juga emosi. Di situlah letak kekuatan sejati dari korespondensi mereka.
Kini, proyek surat-surat Buonarroti sedang berlangsung dengan penuh semangat. Setiap kata yang berhasil dipecahkan adalah langkah menuju pemahaman lebih dalam tentang sejarah manusia. Di Casa Buonarroti, warisan itu tidak hanya dipajang, tapi dihidupkan kembali. Surat-surat itu telah menempuh jarak ratusan tahun untuk sampai ke tangan kita. Dan kini, giliran kita untuk mendengarkannya—dengan hati terbuka dan rasa hormat yang tulus.
Sumber: Dr. Daniel Gullo – HMML