Di tanah kepulauan yang jauh dari hiruk pikuk kota besar, nama Jusup Joisangadji dikenal sebagai sosok yang bersahaja. Ia kini menjabat sebagai Kepala Bidang Transmigrasi Kabupaten Kepulauan Sula, wilayah yang menjadi bagian penting dari sejarah pembangunan manusia dan wilayah di timur Indonesia. Bagi masyarakat setempat, beliau bukan sekadar pejabat, melainkan sosok “guru” dan pejuang kesejahteraan yang dekat dengan warga. Sikapnya yang tenang dan tutur katanya yang bijak membuatnya dihormati oleh banyak kalangan. Pengabdiannya menggambarkan semangat sejati seorang pelayan masyarakat yang bekerja dalam diam, namun meninggalkan jejak mendalam.
Perjalanan hidup Jusup bermula dari dunia pendidikan. Sebelum masuk ke pemerintahan, ia menghabiskan masa mudanya sebagai guru di sekolah-sekolah pelosok. Di ruang kelas sederhana, ia bukan hanya mengajar membaca dan menulis, tetapi juga menanamkan nilai disiplin dan tanggung jawab. Dari sinilah karakter kepemimpinannya terbentuk: sabar, mendengar, dan penuh empati terhadap masyarakat kecil. Profesi guru mengajarkannya bahwa pembangunan sejati selalu dimulai dari pendidikan dan kesadaran manusia.
Setelah bertahun-tahun mengabdi sebagai pendidik, Jusup melihat bahwa banyak persoalan masyarakat desa tak cukup diselesaikan lewat pengajaran saja. Ia menyadari pentingnya kebijakan dan tata kelola pembangunan yang langsung menyentuh kehidupan warga. Kesadaran inilah yang membawanya akhirnya bergabung dalam pemerintahan daerah, khususnya di bidang transmigrasi. Ia melihat transmigrasi bukan semata program pemindahan penduduk, tetapi gerakan sosial yang mengubah nasib dan memberi harapan baru. Keputusan ini menandai titik balik dalam hidupnya—dari pengajar di kelas menjadi penggerak perubahan di lapangan.
Dalam perannya sebagai pejabat transmigrasi, Jusup banyak turun langsung ke lapangan, menyapa warga di kawasan transmigrasi Mangoli. Masyarakat mengenalnya sebagai “guru” dan pejabat yang mau mendengarkan keluhan tanpa birokrasi berbelit. Baginya, pekerjaan bukan sekadar kewajiban administrasi, tetapi bentuk nyata pengabdian. Ia percaya, setiap langkah di tanah transmigrasi adalah bagian dari membangun masa depan bangsa.
Salah satu fase penting dalam perjalanan Jusup adalah keterlibatannya mendampingi Tim Ekspedisi Patriot Universitas Indonesia (TEP UI) di kawasan transmigrasi Mangoli. Kolaborasi ini membuka ruang dialog antara pengalaman birokrasi daerah dan semangat inovasi anak muda. Jusup bukan sekadar fasilitator, tetapi mentor lapangan yang memberikan arahan sekaligus teladan. Ia membantu tim UI memahami dinamika sosial transmigran, menghubungkan mereka dengan masyarakat, dan menjaga keharmonisan kerja lintas generasi. Kerja samanya menunjukkan bahwa kolaborasi lintas usia dan lembaga bisa menghasilkan perubahan nyata bagi daerah.
Selama mendampingi program, Jusup memperlihatkan keteladanan kepemimpinan yang bersandar pada kepercayaan dan empati. Ia percaya bahwa masyarakat harus dilibatkan sebagai subjek pembangunan, bukan sekadar penerima manfaat. Dalam setiap dialog, ia menekankan pentingnya membangun kesadaran diri, gotong royong, dan rasa memiliki terhadap tanah transmigrasi. Bagi Jusup, keberhasilan pembangunan diukur bukan dari jumlah proyek, tetapi dari seberapa besar warga merasa sejahtera dan berdaya.
Meski bekerja di wilayah yang sering kali menantang secara geografis dan logistik, Jusup tidak pernah kehilangan semangat. Ia terbiasa menempuh perjalanan panjang menyeberangi laut atau mendaki bukit untuk menjangkau lokasi transmigrasi. Dalam setiap perjalanan, ia membawa pesan sederhana: “Pembangunan harus hadir di mana manusia berada, bukan menunggu manusia mendatangi pembangunan.” Prinsip itu membuatnya dicintai warga dan dihormati rekan sejawat. Ia menjadi simbol dedikasi pegawai daerah yang tetap bekerja dengan hati di tengah keterbatasan.
Sebagai pemimpin, Jusup dikenal tegas namun adil. Ia mampu menjaga keseimbangan antara disiplin birokrasi dan kedekatan emosional dengan masyarakat. Banyak yang mengatakan bahwa karakter kepemimpinannya terbentuk dari masa-masa ketika ia masih menjadi guru. Ia menempatkan nilai-nilai pendidikan sebagai dasar dalam mengambil keputusan—mendidik, membimbing, dan memberi contoh. Dalam dirinya, nilai seorang pendidik dan seorang birokrat berpadu menjadi satu kesatuan yang utuh.
Kini, menjelang masa purna tugas, Jusup memandang karier panjangnya dengan penuh rasa syukur. Ia merasa beruntung telah diberi kesempatan untuk mengabdi di dua dunia: pendidikan dan transmigrasi. Baginya, keduanya bukan jalan yang berbeda, melainkan dua cara untuk melayani manusia. Ia berharap generasi muda bisa meneruskan perjuangan dengan semangat yang sama—tulus, bekerja tanpa pamrih, dan percaya bahwa perubahan dimulai dari niat baik. Dalam setiap cerita tentang transmigrasi Mangoli, nama Jusup Joisangadji akan selalu disebut dengan hormat.
Kisah perjuangan Jusup Joisangadji adalah potret tentang ketekunan dan pengabdian. Ia memulai kariernya sebagai guru dan menutupnya sebagai pembangun harapan di tanah transmigrasi. Dari papan tulis ke peta pembangunan, dari ruang kelas ke desa terpencil, perjalanannya adalah cermin keikhlasan yang langka. Sosoknya mengajarkan bahwa mengabdi tidak harus di kota besar atau jabatan tinggi, tetapi di tempat di mana manusia membutuhkan. Di sanalah, di antara laut dan ladang transmigrasi Mangoli, nama Jusup Joisangadji sebagai simbol pengabdian tanpa batas.



