Oleh: Undang Ahmad Darsa
Memahami suasana keagamaan yang berkembang dalam suatu komunitas masyarakat agaknya merupakan salah satu kunci untuk memahami sejarah masa lalu masyarakat tersebut. Hal ini dapat dimaklumi mengingat dalam masyarakat tradisional, agama berkaitan erat dengan perkembangan peradabannya. Keadaan itu kiranya sesuai dengan pernyataan berikut.
Religion in the key of history, we cannot understand the inner form of a society unless we understand religion. We cannot understand the religious belief that lie behind them. In all ages the first creative works of cultural are due to a religious inspiration and dedicated to a religious end (Zoetmulder, 1965: 327).
Kehidupan keagamaan masyarakat Sunda khususnya dan masyarakat Nusantara pada umumnya sampai saat ini tetap menarik untuk dibicarakan. Pada masyarakat Sunda cukup banyak sumber tradisi tulis berupa naskah yang menguraikan perihal kehidupan keagamaan semenjak masa sistem pemerintahan kerajaan dan sistem kesultanan. Pada saat sistem kerajaan itu berdiri terdapat naskah-naskah yang bernuansa keagamaan produk mandala, misalnya, Sanghiyang Siksa Kanda’ng Karesian (SSK), Séwaka Darma (SD), Amanat Galunggung (AG), dan Sanghyang Hayu (SH). Demikian pula selanjutnya pada masa sistem kesultanan banyak sekali naskah bernuansa keagamaan produk opesantren sebagaimana akan dijadikan fokus pembicaraan dalam makalah/artikel ini.
Kita ketahui bahwa naskah pada dasarnya merupakan objek kajiannya filologi. Dalam praktiknya, metode kajian filologi dapat dibagi menjadi dua, yakni: Pertama, metode kajian naskah atau kodikologi, yakni sebuah upaya mengkaji masalah deskripsi dan identifikasi wujud fisik yang hasilnya berupa katalog naskah. Kedua, metode kajian teks atau tekstologi, yakni sebuah upaya lanjutan menyangkut kritik teks ke arah perwujudan sebuah edisi teks yang bersih dari kesalahan dan/atau kekeliruan tulis guna membuka jalan ke arah pengungkapan isi teks sesuai kandungannya.
Gambaran Khazanah Pernaskahan Sunda
Peninggalan tradisi tulis di Tatar Sunda dilihat dari bahan yang digunakannya dapat dibedakan ke dalam wujud prasasti/piagam dan naskah. Bahan tradisi tulis berupa batu dan sejenisnya biasa dinamakan prasasti dan yang berupa lempengan logam dinamakan piagam. Adapun bahan-bahan yang digunakan untuk pembuatan naskah pada masyarakat Sunda biasanya berupa: (a) kulit (binatang, seperti handalam; dan tumbuhan, seperti kulit pohon saeh yang biasa dinamakan daluang serta bilahan bambu); (b) dedaunan (lontar, nipah, kelapa); dan (c) aneka ragam kertas (buatan pabrik lokal, dan import; polos maupun pakai watermark‘bercap air’). Oleh karena itu, bahan-bahan prasasti/piagam biasanya lebih tahan lama (permanen) dibanding dengan bahan-bahan naskah.
Naskah merupakan wujud konkret dari tulisan tangan yang secara anatomis terdiri atas komponen (1) aneka ragam bahan, (2) tulisan, dan (3) bahasa sebagai sarana pembungkus teks. Adapun teks dapat diartikan sebagai kandungan atau muatan naskah yang abstrak dan hakiki. Perlu dibedakan antara teks yang bersifat illahiah, seperti teks-teks dalam kitab suci agama tertentu yang berupa wahyu dengan teks-teks yang bersifat insaniah yang berupa karya-karya hasil buah pikiran manusia.
Isi teks naskah Sunda cukup beraneka ragam yang dapat dikategorikan ke dalam teks- teks yang bernuansa keagamaan dan filsafat, historis, susastra, topografis, dan ensiklopedis. Mengenai keanekaragaman kandungan teks naskah tersebut turut mempengaruhi wujud penyajian teks lewat sarana pemakaian ragam bahasa yang juga ditulis dalam aksara yang bermacam-macam. Penyajian teks ada yang berbentuk puisi (bermetrum pupuh, syair, sisindiran, kawih, dsb); ada pula yang berbentuk prosa naratif maupun prosa deskriptif; atau campuran puisi dan prosa. Bahkan, ada teks naskah yang berupa silsilah dalam bentuk diagram pohon yang cukup menyita lembar halaman begitu banyak.
Banyak naskah Sunda yang sudah tidak diketahui lagi jejak keberadaannya dikarenakan kualitas bahan naskah (aneka ragam kulit, daun, dan kertas) umumnya sangat rentan menghadapi pergantian musim di Tatar Sunda yang tingkat kelembabannya cukup tinggi. Faktor lain penyebab hilangnya naskah-naskah Sunda ialah kurang teraturnya pemeliharaan setelah berpindah penyimpanan dan/atau kepemilikan, kena musibah kebakaran atau banjir, rusak dimakan binatang (tikus, kecoa, rayap, ngengat, ulat, dll), hilang akibat konflik sosial (perang), atau bahkan ada yang sengaja menghancurkannya akibat adanya sentimen politik dan keagamaan.
Dilihat dari segi kuantitasnya, naskah-naskah di Tatar Sunda diakui cukup banyak jumlahnya. Ini terbukti antara lain dari hasil pencatatan dan inventarisasi yang dilakukan Edi S. Ekadjati (dkk, 1988) sebanyak 1.432 buah naskah, baik yang berada pada koleksi naskah di dalam negeri (Perpustakaan Nasional Jakarta, Museum Negeri “Sri Baduga” Jawa Barat Bandung, Museum Pangeran Geusan Ulun Sumedang, Museum Cigugur Kuningan), pada koleksi naskah perseorangan di masyarakat, maupun di luar negeri (Belanda, Inggris, dan lain-lain). Di samping itu, di kantor EFEO Bandung (1990, menurut informasi kini sudah dilebur ke Jakarta) tercatat tidak kurang dari 800 buah naskah, di Keraton Kasepuhan Cirebon ada sekitar 117 buah naskah, dan di Keraton Kacirebonan ada sekitar 42 buah naskah. Sejumlah naskah pada koleksi Keraton Kanoman belum sempat diketahui karena belum terbuka untuk diteliti (Ekadjati, Edi S. & Undang A. Darsa, 1999).
Naskah Kitab Kepustakaan Pesantren
Pada masa-masa tertentu, naskah-naskah pustaka pesantren tidak saja dipergunakan oleh masyarakat kebanyakan, namun juga oleh para kiyai, para ajengan, para ustad, dan para santri. Dalam hal ini, naskah merupakan sumber ilmu pengetahuan, sarana hiburan dan sekaligus mengandung nilai kerokhanian bagi pembaca dan para pendengarnya yang biasanya dibawakan dengan cara ditembangkan (wawacan). Ada anggapan bahwa, sebagian besar orang Sunda memperlihatkan sebuah penghayatan keagamaan yang luar biasa. Bagi mereka, Islam itu adalah ajaran dasar atau ideologi, falsafah serta pegangan hidup. Dengan kata lain, Islam merupakan suatu titik terkuat dalam pandangan hidup masyarakat Sunda.
Hal ini memang dapat dimaklumi karena, baik secara fisik maupun dalam bentuk- bentuk tradisi keislaman secara umum masih tumbuh subur di daerah pedesaan Jawa Barat. Hampir di setiap daerah kabupaten atau di Tatar Sunda terdapat pesantren tradisional yang merupakan lembaga formal sebagai pusat pengajian dan pengajaran kitab-kitab agama Islam di bawah bimbingan para kiyai. Secara keseluruhan, kitab-kitab klasik yang diajarkan di pesantren-pesantren Jawa Barat bisa digolongkan antara lain ke dalam kitab: nahwu dan sharaf (tentang sintaksis dan morfologi), fiqih, usul fiqih, hadits, tafsir, tauhid, tasawuf dan etika, mantek, faroid, tizan, dan sebagainya serta cabang-cabang lain seperti tarikh dan bhalaghah. Kitab-kitab yang diajarkan di lingkungan pesantren itu biasanya dapat dikategorikan sebagai (1) kitab-kitab dasar yang berkaitan dengan fiqih, dan usul fiqih; (2) kitab-kitab tingkat menengah yang berkaitan dengan hadits dan tafsir; dan (3) kitab-kitab besar mengenai tasawuf dan tarikat. Kitab-kitab tersebut biasanya memuat teks yang sangat pendek hingga teks yang berjilid-jilid.
Ada dua hal yang hendak ditunjukkan berkenaan dengan teks-teks naskah Sunda produk kepustakaan pesantren. Pertama, klasifikasi naskah dilihat dari bayangan tematis perkembangan Islam dapat dibedakan antara naskah-naskah yang dikategorikan sebagai (1) naskah-naskah yang bernuansa masa proses islamisasi, dan (2) naskah-naskah yang secara nyata telah bertemakan ajaran keislaman. Dengan kata lain, pengelompokan naskah-naskah Sunda tersebut cenderung didasarkan atas pemahaman difusi budaya Timur Tengan yang islami yang tersirat secara tematis. Berdasarkan bayangan-bayangan tematis seperti itu kemungkinan besar diperoleh gambaran tentang bagaimana khazanah naskah Sunda telah mencatat sebuah keadaan periode tertentu. Namun, tentu saja di antara teks-teks naskah itu ada yang mengandung gambaran yang masih sulit diberi pembatas yang ketat untuk digolongkan ke dalam salah satunya dari kedua periode tadi. Ke dalam tiap-tiap pembabakan dimasukkan beberapa siklus secara khusus yang dapat diartikan bahwa, penekanan sebuah siklus itu cenderung didasarkan atas bayangan unsur ruang dan tokoh, di samping isi yang terkandung di dalamnya.
Kedua, klasifikasi naskah Sunda produk kepustakaan pesantren yang didasarkan atas sampai sejauh mana nilai-nilai ajaran yang islami terekam dalam teks-teks naskah yang pada kenyataannya lebih banyak dipahami secara praktis dalam kehidupan masyarakat sehari- hari. Berdasarkan kedua pandangan tersebut diharapkan hasil pemahaman ini dapat dijadikan sebagai salah satu titik pangkal ke arah penelusuran peristiwa sejarah perkembangan Islam dengan kelembagaan formalnya yang berupa pesantren-peantren di Tatar Sunda.
Pengelompokan naskah-naskah yang bernilai keagamaan dan kebangsaan dalam khazanah pernaskahan Sunda seperti ini pada dasarnya masih bersifat penilaian tahap awal terhadap naskah-naskah Sunda produk kepustakaan pesantren dengan patokan latar belakang nilai ajaran keislaman. Tentunya untuk dapat menganalisis nilai-nilai keagamaan dan kebangsaan tersebut haruslah dilakukan pengamatan, penelitian, dan pengkajian keseluruhan teks naskah secara lebih intensif dan berkesinambungan oleh lembaga yang berwenang seperti saat ini.
Uraian yang disajikan melalui pengelompokan ini berupaya menampilkan sebuah sisi baru, terutama berfokus pada pengungkapan gambaran nilai-nilai islami yang telah turut mewarnai nilai-nilai kebangsaan yang nampak berakar di Tatar Sunda, di samping memahami perspsktif sejarah masa lalu masyarakat tersebut. Hal ini dapat dikaitkan dengan sudut pandang kebudayaan bahwa, naskah dapat dikategorikan sebagai salah satu tangible cultural heritage ‘warisan budaya kebendaan’ yang bersifat kongkrit (material culture) dan sekaligus mengandung teks yang dapat dikategorikan sebagai salah satu intangible cultural heritage ‘warisan budaya nonkebendaan’ yang bersifat abstrak (immaterial culture). Melalui naskah di antaranya, kita sesungguhnya dapat mengungkap endapan kearifan lokal bangsa, baik yang bersifat local genius maupun local wisdom.