Tuanku Imam Bonjol yang bernama asli Muhammad Syahab, lahir di Bonjol, Pasaman, Sumatera Barat pada tanggal 1 Januari 1772. Dia merupakan putra dari pasangan Khatib Bayanuddin Syahab (ayah) dan Hamatun (ibu). Ayahnya, merupakan seorang alim ulama yang berasal dari Sungai Rimbang, Suliki, Lima Puluh Kota. Sedangkan ibunya, (dalam beberapa sumber menyebutkan) berasal dari tanah Maroko dan merupakan keturunan Ahli Bait Rasulullah SAW. Muhammad Syahab memperoleh beberapa gelar, yaitu Peto Syarif, Malin Basa, Tuanku Mudo, dan Tuanku Imam.
Berbicara soal Tuanku Imam Bonjol maka tentunya tak bisa dilepaskan dari Gerakan Paderi (1803-1837) dan Minangkabau secara khusus, maupun Indonesia secara umum. Begitu pula ketika menggambarkan sosok beliau secara spesifik, maka beragam sudut pandang pun dikemukakan, mulai dari gambaran beliau sebagai tokoh pemberontak (dalam kacamata Kolonial Belanda), seorang pahlawan Indonesia asal Minangkabau yang menjunjung tinggi semangat nasionalisme dan anti penjajahan, seorang ulama besar dan pejuang Islam yang masyhur dengan gerakan pembaharuannya, tokoh ekonomi dan politik di masanya, ahli militer dan strategi perang, tokoh intelektual pemersatu antara kaum agama dan kaum adat di bumi Minangkabau yang puncaknya ditandai dengan deklarasi falsafah “Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah”, hingga penyematan kepada beliau sebagai seorang yang frontal, dan berperan besar dalam penyebaran paham wahabi di Minangkabau (apakah benar seperti itu? Nanti kita bicarakan). Dan pandangan-pandangan seperti ini tentunya tergantung kepada siapa yang menulis sejarah, sumber bacaan yang dibaca serta bagaimana persepsi masing-masing pembaca dalam menafsirkan sejarah hidup beliau.
Perang Pederi misalnya, sampai sekarang sudah banyak hasil penelitian yang bisa diakses mengenai Tuanku Imam Bonjol dan Perang Paderi, di antaranya studi Rusli Amran (1981), Muhammad Radjab, Christine Dobbin, dan banyak lagi puluhan bahkan ratusan artikel yang terbit di berbagai jurnal ilmiah terbitan dalam dan luar negeri. Namun, secara umum penelitian tersebut banyak merujuk kepada sumber-sumber primer yang ditulis oleh kaum kolonial. Selain itu ada juga publikasi terbaru mengenai Perang Paderi oleh sejarawan militer G. Teitler: Het Einde van de Padrie-oorlog Het beleg en de vermeestering van Bonjol, 1834-1837; Een Bronnenpublicatie (Amsterdam: De Bataafsche Leeuw, 2004) yakni tentang Akhir Perang Paderi, Pengepungan dan Perampasan Bonjol 1834-1837.
Selain sumber-sumber di atas, ternyata ada salah satu sumber pribumi yang amat penting mengenai Perang Paderi yang ditulis langsung oleh Tuanku Imam Bonjol adalah Naskah Tuanku Imam Bonjol. Sumber penting lainnya adalah Surat Keterangan Syekh Jalaluddin karangan Syekh Jalaluddin Fakih Saghir Tuanku Sami’ (Sufi, Ulama besar Minang di Tanah Suci abad 19), dan Memorie van Toeankoe Imam.
Sekilas Tentang Naskah Tuanku Imam Bonjol
Naskah ini tebalnya 318 halaman dalam bahasa Arab Melayu yang ditulis langsung oleh Tuanku Imam Bonjol dan Naali Sutan Caniago (anak bungsu Tuanku Imam Bonjol) yang juga ikut terlibat dalam Perang Paderi. Naskah ini terbagi kepada tiga bagian: Bagian pertama, (dari awal sampai halaman 191) “berisi catatan-catatan harian” Tuanku Imam Bonjol sendiri yang berisi tentang sejarah hidup beliau mulai dari latar belakang keluarga, kondisi negeri Bonjol dan Minangkabau saat itu, proses pembaharuan dan penyesalan, strategi gerakan Paderi, Benteng Bonjol dan perjuangan melawan penjajah, hingga ia ditawan lalu diasingkan. Catatan-catatan itu dikumpulkan oleh Naali Sutan Chaniago dan Muhammad Amin (yang ikut serta dibuang bersama Tuanku Imam Bonjol ke Ambon dan kemudian ke Manado), lalu mereka menambahkan/melanjutkannya dengan tulisan mereka sendiri (hingga halaman 318). Bagian kedua, berisi pengalaman Sutan Chaniago sendiri setelah tunduk kepada Belanda sampai ia diangkat menjadi laras alahan Panjang. Bagian ketiga (terakhir), berisi keputusan rapat tentang peralihan dari hukum adat kepada hukum sipil di Sumatra Barat.
Menelusuri Paham Keagamaan Tuanku Imam Bonjol
Akhir-akhir ini, ada satu kelompok yang “mengklaim” secara sepihak bahkan “memaksakan” melekatkan paham keagamaan atas Tuanku Imam Bonjol secara khusus dan ulama-ulama Paderi secara umum. Mereka dengan bangganya teriak kemana-mana mengatakan bahwa para ulama Paderi dan Tuanku Imam Bonjol itu penganut sekaligus penyebar paham salafi-wahabi di Minangkabau. Gaya “pongah” yang mereka tampilkan pada akhirnya berimbas kepada ketenangan dalam beribadah serta mengganggu keharmonisan hubungan sosial masyarakat bahkan merontokkan kejayaan pemikiran keagamaan dan filosofi keminangkabauan yang selama ini didengungkan. Lalu apakah benar ulama Paderi menganut “paham” Wahabi yang sering mengampanyekan untuk anti Tasawwuf, anti akidah Asy’ariyyah (Ahlussunnah wal Jama’ah), anti mazhab, anti ziarah kubur, tahlilan dan sebagainya itu?
Maka pada kesempatan ini pula ada 4 poin yang ingin saya jelaskan sekaligus menjadi kesimpulan akhir tulisan ini:
1. Tuanku Imam Bonjol Berakidah Ahlussunnah wal Jamaah, Pengamal Tasawwuf, Bertarekat dan Bermazhab
2. Kewalian Tuanku Imam Bonjol dan Tradisi Ilmu Palangkahan
3. Tuanku Imam Bonjol Memfatwakan Pengamalan Tawasul Arwah
4. Keluarga serta Pengikut Tuanku Imam Bonjol Melestarikan Tradisi Bakar Kemenyan.
Baik, mari kita telusuri data datanya.
1. Tuanku Imam Bonjol Berakidah Ahlussunnah wal Jamaah, Pengamal Tasawwuf, Bertarekat dan Bermazhab
Pada saat melakukan perlawanan terhadap kompeni Belanda di Sikara Kara, Mandailing Natal, Imam Bonjol menceritakan bahwa ia dan pengikutnya (orang-orang Bonjol) saat itu berperang tanpa menggunakan senjata bedil/senapan melainkan hanya dengan modal zikir kalimah tauhid “La Ilaha illa Allah”. (Berkat pertolongan Allah dan ketinggian makrifat nya dalam ilmu hakikat), ia dan pengikutnya dapat memenangkan pertempuran yang akhirnya membuat kompeni lari tunggang langgang ke markas gedungnya. (lihat: Naskah Tuanku Imam Bonjol, hal. 44).
Data lain membuktikan bahwa Imam Bonjol berguru kepada seorang wali besar keramat yang bernama Tuanku Bandaharo. Pembuktian ini dapat dilihat dari keterangan Tuanku Imam Bonjol dan anaknya, Sultan Chaniago melalui catatan mereka masing-masing. Imam Bonjol sendiri mengungkapkan bahwa Tuanku Bandaharo adalah guru paling berjasa baginya dalam menempa hidup dan pendidikannya. (Baca: Halaman awal dan halaman 216 pada Naskah Tuanku Imam Bonjol).
Begitupun tokoh-tokoh dan masyarakat setempat di Bonjol juga meyakini bahwa Imam Bonjol memiliki ketersambungan sanad keilmuan kepada Syekh Muhammad Saad Padang Bubuih Bonjol (mursyid dalam Tarekat Naqsyabandiyah), dan Syekh Tuanku Nan Tuo di Ampek Angkek, Agam (ulama kharismatik Minangkabau di zaman Paderi, guru besar dalam tarekat Syattariyah dan bermazhab Syafii). Selain itu, Tuanku Imam Bonjol juga bersahabat dekat dengan Syekh Maulana Ibrahim al-Khalidi al-Naqsyabandiy al-Syafiiy di Kumpulan, kec. Bonjol, kab. Pasaman, serta sama-sama berjuang dalam Perang Paderi. Maulana Syekh Ibrahim Kumpulan yang bernama asli Syekh Abdul Wahab bin Fahati (1764-1914M) ini merupakan Guru Besar dalam Tarekat Naqsyabandiyah di Minangkabau sekaligus sebagai generasi pertama penyebar Tarekat Naqsyabandiyah ke Minangkabau setelah pulang dari Makkah dan diberi ijazah oleh Syekh Abdullah Affandi (w. 1849). Syekh Abdullah Affandy adalah salah seorang khalifah dari Syekh Khalid Kurdi (w. 1826) yang diutus ke Mekah dan kemudian mendirikan zawiyah di Jabal Abi Qubais (tempat pusat belajar ulama-ulama Jawi dalam ilmu Tarekat).
Sebuah Tesis yang ditulis oleh Buya Chairullah Ahmad dengan judul, “Naskah Ijazah Dan Silsilah Tarekat: Kajian Terhadap Transmisi Tarekat Naqsyabandiyah Khalidiyah Di Minangkabau” pun telah membuktikan bahwa tarekat Naqsyabandiyah Khalidiyah telah masuk dan berkembang di Minangkabau pada awal abad ke 19 M atas jasa Syekh Ibrahim Kumpulan, kemudian Syekh Ismail melalui murid-muridnya yang berasal dari Minangkabau yang telah diijazahkannya sebagai mursyid. Bahkan, pada pertengahan abad 19 M tarekat Naqsyabandiyah lebih dominan di Minangkabau dibanding tarekat Syattariyah (walaupun mayoritas pejuang Paderi mengamalkan tarekat Syattariyah). Kesimpulan tesis tersebut membantah beberapa peneliti seperti BJO Schrieke, Pergolakan Agama di Sumatera Barat; Sebuah Sumbangan Bibliografi; dan peneliti Martin van Bruinessen, Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia, Survei Historis, Geografis, dan Sosiologis yang menyatakan bahwa tarekat Naqsyabandiyah berkembang di Minangkabau pada pertengahan abad 19 M (1850) yang disebarkan oleh Syekh Ismail al-Khalidi.
Bahkan secara pengamalan, mayoritas penduduk negeri Bonjol dan sekitarnya hingga hari ini pun masih memakai mazhab Syafii dalam syariat serta masih menjaga tradisi bai`at Tarekat, tahlilan, yasinan dan ziarah kubur sebagai bukti adanya pengaruh pemahaman keagamaan yang disebarkan oleh Tuanku Imam Bonjol bersama ulama Paderi lainnya. (berdasarkan hasil wawancara penulis dengan tokoh masyarakat setempat dan pengamatan langsung di lapangan).
Bila kita telusuri lebih lanjut, ada beberapa pituah/fatwa khusus yang dialamatkan oleh Imam Bonjol kepada anaknya, Sultan Chaniago sebelum ia hendak pergi menemui Belanda untuk melakukan perundingan terakhir kalinya (hingga kelak diasingkan ke pulau Jawa terus ke Manado). Beberapa petuah khusus tersebut adalah tentang adat pusaka diam di dalam nagari dan pusaka menghunikan nagari; sifat dan prinsip/jati diri yang harus dimiliki oleh anak lelaki; martabat orang berani; pedoman dalam bergaul di tengah masyarakat; dan petuah dalam mencari guru.
Untuk poin terakhir, yakni petuah dalam mencari guru, Imam Bonjol mengatakan kepada anaknya, “Jikalau awak belum lagi berakal akan sifat duo puluah, disitulah maka tumbuah aka. Carilah guru nan tuo terlontar barang pekerjaan dan orang itu melainkan nan berakal lagi jauhari bijaksana. Itulah nan tempat berguru. Jika tidak dapat nan baitu maka janganlah berguru”. (Lihat: Naskah Tuanku Imam Bonjol/NITB, hal. 122).
Maksudnya adalah bila seorang anak belum mampu menggunakan potensi akalnya untuk memahami “sifat duo puluah” maka carilah/bergurulah kepada guru yang sudah berakal lagi arif bijaksana (tua dalam ilmu, umur, pengalaman, pengamalan dan pengahayatan lahir batin). Lebih lanjut Imam Bonjol bertutur, “bila tidak engkau temukan guru yang seperti itu maka lebih baik jangan berguru”. Artinya, guru yang dimaksud disini adalah guru yang telah kokoh secara lahir dan batin, yang mendalam keilmuannya dalam bidang ilmu Tauhid, Fiqh, dan Tasawwuf (ihsan), serta telah melalui jalan Syariat, Tarekat, hingga puncak Hakikat dan Makrifat kepada Allah.
Perlu diketahui bahwa “sifat duo puluah” disini adalah Tauhid sifat 20 dalam ajaran akidah Ahlussunnah wal Jamaah yang menjadi bagian dari akidah 50 yang selalu diajarkan oleh ulama-ulama pengikut Imam Abu al-Hasan al-Asy`ari Sang Imam Besar akidah ASWAJA sebagai pelanjut akidah ajaran Baginda Rasulullah Saw.
2. Kewalian Tuanku Imam Bonjol dan Tradisi Ilmu Palangkahan
Menjelang Tuanku Imam Bonjol dikhianati dalam perundingan di Palupuah oleh Belanda hingga kemudian diasingkan ke luar Sumatera, hakikatnya posisi Tuanku Imam Bonjol bersama keluarga dan pengikut setianya benar-benar terdesak dan berada dalam kesulitan yang parah setelah sekian lama dikepung oleh Belanda di setiap sudut Bonjol. Ditambah lagi banyaknya pihak-pihak dari kalangan masyarakat Bonjol yang berkhianat dan memihak kepada Belanda, akhirnya mengharuskan Tuanku Imam bersama pengikutnya untuk mengasingkan diri ke hutan rimba raya ketimbang harus tunduk kepada penjajah. Berbulan-bulan lamanya tinggal bertahan di hutan rimba dengan perbekalan seadanya, tempat persembunyian yang diserang setelah diketahui oleh penjajah, mendapati bencana penyakit, hingga kekurangan akan makanan (beras mulai habis dan tak ada yang bisa dimakan lagi kecuali talas batu). Tentu saja hal itu membuat Imam Bonjol sangat prihatin terhadap kondisi keluarga dan pengikutnya.
Dalam situasi yang demikian, datanglah Bagindo Tan Labiah dan Sutan Saidi membawa surat tuan Residen Francis yang isinya meminta Tuanku Imam Bonjol untuk tunduk di pangkal meriam yakni tunduk kepada Belanda melalui wakilnya yang bergelar Kapiten Steinmetz. (Lihat: Naskah Tuanku Imam Bonjol, hal. 95).
Setelah melalui perenungan yang mendalam dengan segala pertimbangan kemaslahatan, akhirnya Tuanku Imam Bonjol bermaksud berdamai dengan Belanda melalui cara mengutus anaknya, Sultan Chaniago (anak bungsu Imam Bonjol, sebagai wakil pengganti terhadap dirinya yang sudah uzur) dengan ditemani oleh Bagindo Tan Labiah dan Sultan Saidi (kakak kandung Sultan Saidi) untuk melakukan perundingan dengan Belanda di Palupuh. Namun sebelum ketiga utusan tersebut hendak berjalan sesuai perintah Tuanku Imam, Sultan Chaniago terlebih dahulu meminta arahan kepada ayahnya bagaimana teknis berdiplomasi yang baik serta bertanya soal “ilmu palangkahan” agar tidak keliru ketika melangkah serta agar mendapati kemudahan dalam menjalankan misi penting tersebut. (Lihat: NTIB, hal. 96).
Ilmu Palangkahan sendiri berarti ilmu tentang pedoman dalam melangkah ketika hendak memulai perjalanan dengan melihat perguliran waktu dan tanda-tanda alam. Ilmu ini sudah merupakan warisan turun temurun di Minangkabau dan tidak bertentangan dengan syariat agama Islam sama sekali.
Singkat cerita, ketika para utusan telah sampai di Bukittinggi dan sudah bertemu dengan orang yang dituju, dalam masa perundingan yang belum menemukan “kata putus/hasil” itu, disuruhlah ketiga orang tersebut untuk menginap sementara di rumah Tuan Arbacht oleh Kapiten Steinmetz. Malamnya, setelah melaksanakan solat Magrib secara berjamaah sembari menanti masuknya waktu Isya, berundinglah ketiga utusan Tuanku Imam Bonjol. Dalam perundingan itu, Sultan Chaniago tiba-tiba merenungi dan menyesali diri, apakah amanat yang diberikan ayahnya akan berhasil ditunaikan atau tidak, sebab menurutnya saat ini layaknya mereka sedang mengarungi lautan luas yang tak bertepi, entah apakah mereka akan lepas ataukah akan tenggelam. Melihat hal demikian, menjawablah Bagindo Tan Labiah sembari menyemangati Sultan Chaniago, “Jikalau benar-benar bertuah ayah Sultan, tentu akan selamat juga kita pulang pergi”. Setelah mendengar kalimat itu bertambahlah semangat optimisme Sultan Chaniago dengan penuh tawakkal kepada Allah. Lantas kemudian ia pun teringat akan petuah ayahnya, “Tantangan manguek kanai miyang, pantang cabiak kanai duri. Jangan maaduah kesakitan (jangan pantang menyerah), baitu limbago anak laki-laki”. (Lihat: NTIB, hal. 102-103)
Adapun bukti-bukti lain dari kewalian Imam Bonjol bisa ditelusuri melalui tuturan orang-orang terdekat dan sekelilingnya. Misalnya, sebuah kejadian menarik saat Tuanku Imam Bonjol bersama beberapa orang pengikut setia (salah satunya Sultan Saidi, anaknya sendiri) yang turut serta menemani dalam pengasingannya sampai di Ternate lalu hendak berlayar ke negeri Manado. Awalnya Imam Bonjol tidak suka terhadap keputusan pihak Belanda yang menyatakan bahwa ia harus dipindahkan dari Ambon ke Manado yang saat itu dikenal sebagai kawasan yang kumuh, tapi kemudian ia tetap dipindahkan. Ketika kapal laut yang dinaiki oleh Imam Bonjol bersama pengikutnya mulai berlayar dan hampir sampai di Manado, setelah sebelumnya berhenti sebentar di Ternate dan ditemui Raja Ternate, tiba-tiba kapal tersebut dengan sendirinya berputar balik ke arah pelabuhan semula selama tiga kali secara berulang-ulang hingga akhirnya sampai di Manado. Begitulah yang terjadi disebabkan keengganan Tuanku Imam Bonjol diasingkan ke Manado. (Lihat: NTIB, hal. 143)
Keterangan lain yang paling tegas mengatakan bahwa Tuanku Imam Bonjol adalah seorang wali dapat diketahui melalui pernyataan anaknya, Sultan Chaniago disaat berjuang menunaikan pesan ayahnya (sebelum diasingkan) agar melanjutkan perjuangan bagi kaum Bonjol dan masyarakat Minangkabau, serta terus berupaya mempertahankan nilai-nilai Islam dan adat istiadat Minangkabau. Namun, dalam menjalankan tugas itu maka mau tidak mau ia harus bekerjasama dengan Belanda yang sudah jelas berkuasa saat itu, dengan maksud agar dapat memperbaiki/membangun kembali Bonjol, menciptakan keadilan bagi seluruh masyarakat, serta bisa meminimalisir dampak dan kebijakan-kebijakan negatif yang dibuat oleh Belanda bila tidak memihak kepada rakyat.
Segala rintangan, ujian dan cacian masyarakat yang tidak menyukainya pun harus ia hadapi dengan penuh ketabahan, bahkan ia pernah digelari dengan, “cirik masiak” yang artinya “tahi kering yang makin busuk”. Sultan Chaniago hanya bisa sabar dengan mengucapkan Alhamdulillah sembari mengharap pertolongan kepada Allah dan Rasul-Nya, beserta dengan arwah orang-orang keramat. “Jikalau lai (benar) sungguah ayah saya Waliyullah, janggutnya (jenggotnya) panjang tiga seperempat, tolong jua anak barang nan tumbuh pesakitannya akan naiak (yang sedang berada dalam masa-masa kesulitan)”. Tutur Sulthan Chaniago dalam curhatannya. (Lihat: NTIB, hal. 163).
3. Tuanku Imam Bonjol Memfatwakan Pengamalan Tawasul
Dalam perjalanan pulang dari Bukittinggi menuju Bonjol setelah melaksanakan tugas yang diamanahkan ayahnya, dia singgah sebentar di Palupuah dan bermalam di rumah Malin Magok. Sebentar tidur terdengarlah ayam berkokok yang menandakan sebentar lagi waktu Subuh akan tiba. Ketika Sultan Chaniago sudah bangun dari tidurnya, tiba-tiba Bagindo Tan Labiah bertanya kepadanya, “Lai pandai Sultan ilmu manampuah urang banyak (apakah Sultan mempunyai ilmu menempuh/menundukkan/menghindari orang banyak)?”. Lalu menjawab Sultan Chaniago, “Kalau itu kata kakak kita mintak saja kepada Allah. Kita kembalikan kepada ninik kita seorang-seorang. Saya basaru (menyeru/tawassul) kepada ninik (kakek) dengan ayah serta ninik saya yang bergelar Datuk Buruk. Inyo nan babatu mejan banyak (yang sudah berada di alam kubur)”. (Lihat: NTIB, hal. 109).
Bila diperhatikan secara cermat kalimat diatas maka dapat dipastikan bahwa Sultan Chaniago ikut mengamalkan tradisi Tawasul yang dalam ilmu zikir tarekat, hakikat, dan makrifat diajarkan serta menjadi sebuah keharusan. Sultan memohon pertolongan kepada Allah (dari segala gangguan kejahatan yang akan menghadang dalam perjalanan nantinya) melalui keberkahan wasilah/perantara arwah para wali dan orang-orang soleh. Pada situasi tersebut dia bermaksud bertawassul kepada ayah, kakek dan neneknya yang sedang berjarak jauh secara fisik bahkan sudah berbeda alam (yang berbatu mejan/nisan atau berada di alam kubur). Singkat cerita, setelah itu Sultan Chaniago dan Bagindo Tan Labiah semacam mendapat pertolongan dan kemudahan dari Allah di dalam perjalanan mereka, misalnya badan tidak basah ketika terjadi hujan lebat, sebagaimana tuturannya, “Sudah tiba hujan lebat maka disaat itulah kami melanjutkan perjalanan. Atas pertolongan Allah tidaklah kami kehujanan saat itu. Sekitar sepuluh langkah dari arah kiri, kanan, muka dan belakang kami saat berjalan itu tidaklah dapat disentuh hujan. Ini berkat pertolongan Allah Subhanahu wa Ta`ala”. (Lihat: NTIB, hal. 112)
Suatu ketika Sultan Chaniago dan Rajo Mudo melakukan perjalanan (kejadian berlangsung di Palupuah di waktu yang berbeda). Lalu di tengah jalan mereka dicegat oleh delapan orang penyamun yang meminta uang sebanyak satu ringgit seorang. Setelah diberi oleh Rajo Mudo atas suruhan Sultan Chaniago, mereka meminta lagi tiga ringgit seorang dengan alasan karena kalah menyabung ayam di Palupuah. Melihat gelagat itu, terjadilah perkelahian antara Rajo Mudo seorang diri dengan mereka hingga larut malam. Disaat Rajo Mudo kewalahan karena kehausan, Sultan pun kemudian bertawasul dengan meminta pertolongan ayahnya yang sekarang entah dimana. Sambil mengunyah pinang tua, lalu dihembuskan kepada lawan, akhirnya Rajo Mudo keluar dari pertarungan itu atas suruhan Sultan, sedangkan mereka (penyamun) terus berkelahi dengan sesamanya sampai menjelang Subuh. (Lihat: NTIB, h. 193).
Sepertinya, amalan tawasul (bahkan termasuk ilmu palangkahan, ilmu pitunduak, dll) yang dipraktekkan oleh Sultan Chaniago tidak terjadi secara spontan begitu saja, melainkan merupakan penerapan terhadap pitua/fatwa yang telah diajarkan oleh ayahnya selama ini secara khusus, serta hasil dari proses pembelajaran di bidang agama yang ia terima sejak kecil dari surau ke surau, dari satu guru ke guru yang lain di Minangkabau.
Menjeleng Tuanku Imam diasingkan, Sultan Chaniago sempat bertanya dalam keadaan bersangatan sedih,“Kemanakah saya akan mengadu dan bersandar bila nanti tumbuh kemalangan dan kesempitan, sedangkan ayah akan pergi berjalan yang suatu saat entah akan kembali entah tidak. Sesungguhnya Allah Ta`ala Maha Berkehendak dengan sendiri-Nya”. Mendengar hal demikian, berpetuahlah Tuanku Imam Bonjol, “Jikalau bersua sasak dan sampit di waang, maka sarulah ninik waang yang bergelar Datuak Buruak, badan saya tidak akan bercerai dengan waang, mandiang Pakiah Saidi melainkan sungguah-sungguah manyaru. Maka serulah kami nan barampek itu”. Maksud dari fatwa Tuanku Imam tersebut adalah bila nanti anaknya mendapati suatu kesulitan dan kemalangan, maka basarulah (bertawasul lah) melalui ayahnya, mendiang kakeknya yang bergelar Datuak Buruak serta almarhum kakaknya Pakiah Saidi. Tawasul tersebut harus dengan sungguh-sungguh, sebab hakikatnya mereka saling terhubung dan tidak bercerai. Dan sejatinya intisari dari tawasul sendiri bukanlah meminta pertolongan kepada arwah, melainkan meminta pertolongan kepada Allah melalui perantara berkahnya para wali dan orang soleh.
4. Keluarga serta Pengikut Tuanku Imam Bonjol Melestarikan Tradisi Bakar Kemenyan
Suatu ketika Sultan Chaniago bersama kaumnya di kampuang Chaniago, Bonjol pernah dituntut untuk membayar hutang yang tidak seharusnya ia bayar (sebab yang berpiutang adalah Rajo Manang) kepada Datuk Bandaharo di Ganggo Mudiak (generasi belakangan yang menerima gelar Datuk Bandaharo setelah masa Imam Bonjol). Namun Sultan Chaniago tidak mau membayar karena menurutnya perkara tersebut tidak bersesuaian dengan aturan hukum Islam dan hukum adat yang berlaku. Perdebatan sengit pun terjadi di kedua belah pihak dan kaum pendukung masing-masing hingga kemudian menimbulkan cekcok perkelahian antara keduanya.
Oleh karena belum juga menemukan solusi terhadap permasalahan yang sedang dibicarakan, akhirnya Sultan Chaniago dan kaumnya sepakat untuk mencari keadilan ke Bukittinggi. Menjelang keberangkatan ke Bukittinggi, berkatalah Kak Uwo (keluarga Imam Bonjol) ditengah khalayak, “Bajalanlah buyung panggilan kepada anak laki-laki, nak kami pasarokan ke tempat nan kiramat (pergilah buyung, nanti akan kami hantarkan doa ke tempat/makam keramat)”, kemudian dipangganglah kemenyan lalu mendoalah Tuanku Mudo masa itu. (Lihat: NTIB, hal. 177).
Dari pernyataan tersebut dapat dipahami bahwa tradisi membakar kemenyan sudah menjadi hal yang lumrah bagi masyarakat Minangkabau kala itu. Data lain yang ikut memperkuat pernyataan diatas adalah tatkala Sultan Chaniago membantu tuan Kemendur Boursten dalam mengantarkan surat dari Bonjol ke Bukittinggi, menjelang berangkat ia juga diasapi oleh ibunya dengan kemenyan peninggalan Tuanku Imam Bonjol sebanyak tujuh kali keliling, sebagaimana perkataan ibunya, “Duduklah dahulu anak, biar denai hasapi dahulu badan ang, ada juga lai kumayan ditinggalkan ayah anak”. (Lihat: NTIB, hal. 190).
Selain itu, ketika Sultan Chaniago dinobatkan sebagai wakil Laras Alahan Panjang oleh sekalian penghulu, ia lantas menangis dan meratapi nasibnya yang harus memikul beban berat amanah tersebut. Dalam situasi yang demikian, dia pun bertawasul dan meminta izin kepada ayahnya, lalu kepada ruh mendiang Tuanku Bandaharo (guru Tuanku Imam Bonjol), dan mendiang Datuak Sati yang bergelar Rajo Pahlawan. Dalam proses tawasul itu ia tak luput mengasapi sorban ayahnya dengan kemenyan berikut pakaian mendiang kak uwo kandung yang bergelar Pakiah Saidi. Sorban dan pakaian tersebut dibawa tidur oleh Sultan Chaniago. Dan dalam tidur lelapnya, Sultan Chaniago bermimpi didatangi oleh orang-orang yang ditawasuli tersebut sembari memberi petuah-petuah berharga kepadanya. (Lihat: NTIB, hal. 216)
Adapun keterangan-keterangan diatas semakin memperkokoh keyakinan bahwasanya Tuanku Imam Bonjol beserta pengikut Paderi saat itu bahkan masyarakat Minangkabau secara umum adalah berpahamkan Ahlussunnah wal Jamaah. Hal ini sejalan dengan pernyataan Buya Hamka dalam bukunya, “Antara Fakta dan Khayal Tuanku Rao”. Disitu dinyatakan bahwa kaum Paderi tidak pernah menganut paham wahabi-salafi. Mereka hanya mendapat “pengaruh” Wahabi pada tataran semangat dan cara berdakwah, bukan pada paham agama yang anti Tasawwuf, anti Asy’ariyyah, dan anti mazhab sebagaimana yang digambarkan hari ini oleh sebagian orang. Sedangkan penyematan istilah “gerakan pembaharuan” saat itu mungkin bisa diartikan dalam konteks upaya peneraparan syariat secara kaffah dan paripurna dalam kehidupan masyarakat yang mengikat setiap individu untuk menjalankannya seperti melaksanakan solat, puasa, zakat, haji (bagi yang mampu) serta meninggalkan judi, minuman keras, sabung ayam dan sebagainya. (Hal ini juga pernah didiskusikan bersama almukarram Buya Apria Putra, filolog Minangkabau)
Satu hal yang mesti dipahami adalah bahwa Harimau Nan Salapan (tokoh-tokoh generasi awal Paderi) tidak pernah anti tarekat dan tasawwuf. Hal itu dapat dibuktikan melalui bacaan terhadap manuskrip Surat Keterangan Syekh Jalaluddin karya Syekh Jalaluddin Fakih Shaghir. Disitu diceritakan bahwa ketika Harimau Nan Salapan memulai gerakannya, mereka berupaya meminta dukungan dan restu kepada Tuanku Nan Tuo, seorang ulama kharismatik di zaman itu sekaligus merupakan guru dari Tuanku Nan Renceh. Tetapi kemudian Tuanku Nan Tuo, sang sufi besar dalam Tarekat Syattariyah tersebut tidak memberikan dukungan kepada mereka disebabkan tidak sepakat dalam hal kerasnya cara/metode dakwah yang mereka gunakan. Bukan karena persoalan perbedaan paham keagamaan. Sederhananya, Harimau Nan Salapan menginginkan cara dakwah yang keras, frontal dan langsung sikat, sementara Tuanku Nan Tuo ini lebih menyukai cara yang moderat (ditengah-tengah), lemah lembut, dan bertahap.
Jadi, maklum saja bila gerakan Paderi waktu itu terlihat frontal, keras dan berapi-api dikarenakan situasi kondisi yang memaksa (masih berkembang biaknya budaya jahiliyah dengan pesat, serta dipicu oleh berbagai konflik lainnya) untuk menjalankan amar makruf nahi mungkar, belum lagi soal penjajahan yang terjadi dimana-mana mengharuskan mereka untuk melakukan perlawanan terhadap kolonial. Sedangkan gerakan Tarekat (mayoritas bertarekat Syattariyah) juga ikut memberikan sumbangsih atau pengaruh yang luar biasa bagi perjuangan, serta menjadi kekuatan besar dalam melakukan perlawanan terhadap penjajah saat itu sebagaimana diakui oleh Snouck Hurgronje dan Martin van Bruinessen. Hal yang sama agaknya juga terjadi kepada Pangeran Diponegoro bersama pengikutnya di tanah Jawa yakni turut menjadikan tarekat (khususnya Syattariyah) sebagai basis pertahanan dan obor perlawanan terhadap penjajah sebagaimana diakui oleh Peter Carey.
Disamping itu, seorang Ulama besar Minangkabau yang juga ahli adat, bernama Syekh Sulaiman Arrasuli atau yang akrab disapa Inyiak Canduang (1871-1971 M) mengatakan bahwa yang dimaksud dengan “Syarak” pada adagium “Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah” adalah agama Islam dalam I’tiqad Ahlussunnah wal Jamaah (mengikut paham Syekh Abu Hasan `Ali al-Asy’ari dan Syekh Abu Mansur al-Maturidi), sedangkan dari segi fiqh bermazhabkan kepada al-Imam al-Syafi’i atau Syafi’iyyah. Dan terakhir, bertasawwuf. (Lihat: Buku Ayah Kita karya KH. Bahruddin Rusli).
Lebih lanjut beliau menegaskan bahwasanya mazhab Syafii telah berurat berakar dan mendarah daging pada bangsa ini. Dan upaya mendongkel-dongkel syafi’iyyah adalah merupakan suatu pelanggaran dalam hukum adat Minangkabau, sesuai pepatah yang berbunyi: “mangguntiang nan lah bunta, manyumbiang nan lah rato (menggunting barang yang bundar, menyumbing barang rata). Beliau sangat tidak suka kepada orang yang berpaham bak baling-baling di atas bukit, kemana angin berarah kesana pula ia menghadap. Artinya tidak istiqomah dalam bermazhab apalagi sampai tidak mau mengikut bermazhab.
Sekian, semoga bermanfaaat dan terima kasih. Kalo ada masukan atau kritikan dan tambahan, silahkan. Saya menerima dengan lapang dada. Wallahu
A’lam.
Oleh: Muhammad Hidayatullah, Lc., S.Ag*
*Anak Muda Minangkabau