Menembus Rawa dan Lumpur Buluhaya, TEP UI Temukan Akses Laut Berbahaya dan Jalan Putus

Mangoli Barat, Kepulauan Sula — Tim Ekspedisi Patriot Universitas Indonesia (TEP UI) menemukan sebuah lokasi potensial bernama Buluhaya (10/11/25), wilayah yang sebelumnya tak pernah masuk dalam daftar rencana survei mereka. Penemuan ini bermula dari pertemuan awal dengan jajaran Pemerintah Kabupaten Kepulauan Sula pada awal September lalu. Dalam pertemuan itu, pihak pemerintah memberikan “harapan” agar TEP UI turut melakukan kajian lapangan di Buluhaya, yang disebut-sebut memiliki potensi untuk dijadikan lokasi permukiman transmigrasi baru. Temuan ini membuka babak baru dalam riset lapangan TEP UI di kawasan transmigrasi Pulau Mangoli.

Saat tim menuju Buluhaya menggunakan long boat, mereka mendapati bahwa lokasi tersebut jauh lebih menantang daripada yang dibayangkan. Dari tepi air hingga titik koordinat utama, wilayah itu didominasi oleh lumpur dalam dan rawa-rawa luas. Berdasarkan pengukuran lapangan, jarak antara batas air dan lokasi patok utama diperkirakan mencapai enam kilometer. “Daerahnya sangat sulit ditembus,” ungkap salah satu anggota tim. “Setiap langkah bisa membuat kaki terbenam hingga lutut, dan jalur darat belum tersedia sama sekali.”

Kondisi medan yang berat bukan satu-satunya kendala. Warga sekitar menyebut Buluhaya sebagai habitat alami buaya, yang membuat akses menuju kawasan ini semakin berisiko. Pemandu lapangan yang mendampingi tim mengonfirmasi bahwa wilayah tersebut memang dikenal rawan, terutama pada musim hujan ketika rawa meluap dan memperluas area perairan dangkal. Tim TEP UI pun melakukan survei dengan sangat hati-hati, menggunakan alat navigasi dan pengukuran jarak dari titik aman di pesisir. Meskipun demikian, tantangan ini tidak menyurutkan semangat mereka untuk memetakan potensi Buluhaya secara ilmiah.

Dari hasil observasi, tim mencatat bahwa Buluhaya terletak berdekatan dengan jalur jalan lama yang pernah direncanakan menghubungkan Desa Auponhia (Mangoli Selatan) dengan Desa Lelyaba dan Dofa di Mangoli Barat. Namun, sebagaimana banyak infrastruktur lain di Pulau Mangoli, jalan tersebut tidak pernah selesai dibangun dan kini telah tertutup kembali oleh vegetasi lebat. Jejak jalan lama itu kini hanya berupa gundukan tanah yang ditumbuhi semak belukar. Padahal, jika jalur itu diaktifkan kembali, Buluhaya akan memiliki koneksi strategis ke dua kecamatan sekaligus.

Menurut analisis awal TEP UI, Buluhaya sebenarnya memiliki potensi besar sebagai lahan transmigrasi produktif. Tanahnya subur dan terbentang luas, cocok untuk pengembangan padi ladang dan perkebunan rakyat. Namun, potensi ini tidak akan berarti tanpa akses darat yang memadai. “Masalah utamanya bukan pada kesuburan lahan, melainkan isolasi wilayah,” jelas salah satu anggota tim peneliti. “Kalau akses jalan dibuka, Buluhaya bisa berkembang menjadi kawasan pertanian unggulan.”

Tim TEP UI menegaskan bahwa pembangunan Buluhaya sebaiknya tidak diarahkan sebagai desa pesisir, meskipun secara geografis dekat dengan perairan. Kondisi lumpur dan rawa membuat wilayah ini tidak cocok untuk aktivitas nelayan atau pemukiman pantai. Sebaliknya, pengembangan dari sisi darat lebih realistis, apalagi jika koneksi dengan Lelyaba, Dofa, dan Auponhia dapat diwujudkan kembali. Dengan demikian, Buluhaya berpotensi menjadi “kantong pertanian baru” yang menopang ketahanan pangan Pulau Mangoli.

Hasil survei lapangan ini menjadi catatan penting bagi Pemerintah Kabupaten Kepulauan Sula dan kementerian terkait. TEP UI merekomendasikan agar kajian geoteknik dan perencanaan infrastruktur dilakukan sebelum menentukan status resmi Buluhaya sebagai calon lokasi transmigrasi. Rekomendasi ini juga mencakup analisis lingkungan hidup, khususnya mitigasi terhadap habitat satwa liar seperti buaya. Selain itu, diperlukan studi kelayakan untuk menilai biaya dan dampak sosial ekonomi dari pembukaan akses darat di wilayah tersebut.

Tim mengakui bahwa pengalaman menembus rawa dan menghadapi kondisi ekstrem memberi mereka perspektif baru tentang tantangan nyata pembangunan di periferi Indonesia Timur. “Kadang, peta hanya menunjukkan titik, tapi di lapangan kita menemukan kenyataan yang jauh lebih kompleks,” ujar salah satu anggota TEP UI sambil tersenyum.

Skriptoria

Writer & Blogger

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

ARTIKEL LAINNYA
  • All Posts
  • Berita

©Copyright Skriptoria Ahliney Manuskrip | Create By skillpro.my.id