Menjelang Senin dini hari (19/2) saya mendarat di Bandara Internasional Hamad, Doha, Qatar. Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, melalui Direktorat Jenderal Kebudayaan, dan Kedutaan RI di Qatar, memfasilitasi saya untuk memberikan ceramah (Lecture) tentang “Indonesian Manuscripts” di Qatar National Library (QNL).
Sejak satu dekade silam, Pemerintah Qatar mencanangkan “Years of Culture”, sebuah Program raksasa yang menggambarkan keterbukaan dan apresiasi Qatar terhadap kebudayaan dan peradaban dunia yang sangat beragam. Penggagasnya tak lain adalah Sheikha Al Mayassa Binti Hamad bin Khalifa Al Thani, adik penguasa Qatar saat ini, Emir Tamim bin Hamad Al Thani. Ini adalah bagian dari tekadnya untuk mewujudkan “Qatar Vision 2030”, di mana ia mencitakan untuk “…building an exciting creative future for the country that will connect artistic communities in all areas of culture…”.
Qatar menjadikan “Years of Culture” sebagai bagian dari strategi kebudayaan dan diplomasi budaya untuk memperkuat posisi negara. Qatar sejatinya bukan negara yang memiliki kekayaan ragam budaya. Jauh jika dibanding Indonesia. Tapi Qatar menjadikan isu budaya, dan kebudayaan, sebagai pintu masuk mengapresiasi dan merayakan keragaman budaya, serta membangun kesalingpahaman antara masyarakat Qatar dengan beragam budaya dan masyarakat negara lain.
Dulu, Qatar dikenal sebagai negara paling miskin di kawasan Arab. Perubahan sedemikian drastis terjadi semenjak Qatar menemukan ladang gas bumi “super raksasa” di perut buminya pada awal tahun 1970an. Dan, Qatar tidak hanya piawai mengelola kekayaan alam migasnya untuk kemajuan negeri, melainkan juga bertekad menjadi jembatan untuk menghubungkan peradaban dunia melalui pilar-pilar strategis seperti kebudayaan, olah raga, media, seni, pendidikan, dan lainnya.
Melalui Years of Culture, Qatar mencanangkan visi: “…connecting people from all over the world, enhancing our lives by starting conversations and building lasting friendships through sport, the arts, education, innovation, and much more…”. Kita tahu, perhelatan sepak bola Piala Dunia 2022 sukses dihelat di Qatar, begitu juga Piala Asia AFC 2023. Kita juga tahu bagaimana TV Al-Jazeera berhasil membangun brand sebagai satu-satunya Stasiun TV independen secara politik di Timur Tengah. Itulah potret Qatar saat ini.
Tahun Qatar-Indonesia. Tahun 2023 lalu, Qatar memilih Indonesia sebagai tamu spesial, mitra penyelenggara “Years of Culture”. Dus, selama setahun penuh Indonesia memiliki kesempatan untuk memamerkan serta mengeksplorasi keragaman tradisi, budaya, kuliner, seni, adat istiadat, dan karakter masyarakatnya.
Salah satu rangkaian kegiatan di akhir Program Years of Culture 2023 adalah Pameran bertemakan “Letters of Faith: Arabic Script in Indonesia” di Qatar National Library (QNL) yang digelar sejak 31 Oktober 2023, dengan melibatkan sejumlah mitra seperti Qatar Museums, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kemenristekdikti RI, Museum Nasional Indonesia, Perpustakaan Nasional Indonesia, dan tentunya Kedutaan Republik Indonesia di Doha.
Gagasan utama pameran ini adalah memperkenalkan kekayaan manuskrip Indonesia yang ditulis dalam aksara Arab dan dipengaruhi Islam, baik koleksi Qatar National Library sendiri, selanjutnya saya sebut Perpustakaan Qatar, maupun koleksi Perpustakaan Nasional RI yang dipinjamkan. Sejumlah manuskrip mushaf al-Quran asal Banten, Aceh, Sulawesi dan Cirebon, dengan hiasan iluminasinya yang indah pun dipamerkan. Ada juga manuskrip Syair Kumbang dan Melati asal Palembang yang mewakili manuskrip Melayu-Jawi, serta Maulid Syaraf al-Anam yang mewakili manuskrip non Mushaf al-Quran.
Saya beruntung mendapat undangan dari kurator manuskrip Perpustakaan Qatar untuk melihat dan memeriksa sejumlah koleksi manuskrip Indonesia lainnya yang tidak dipamerkan. Pihak Perpustakaan Qatar sendiri rupanya kesulitan mengidentifikasi manuskrip Indonesia dalam koleksinya yang sepenuhnya ditulis dalam aksara Jawi atau Pégon, karena meski aksara Arab, namun bahasanya adalah Melayu, Jawa, atau Sunda dengan modifikasi lima atau enam huruf tertentu.
Di sini, saya tidak berniat menuliskan semua catatan dan “temuan” saya saat mengidentifikasi manuskrip-manuskrip tersebut, karena untuk detilnya tetap harus melalui tahap penelitian mendalam dengan membaca keseluruhan halaman manuskrip-manuskrip tersebut.
Namun, sekadar contoh, salah satu manuskrip misalnya diduga kuat berasal dari Banyuwangi, wilayah paling Timur Jawa. Dalam halaman akhirnya terdapat catatan: “…al-haq Mas Abdullah Kampung Babakan Mas Haji Umar…sahibul kitab Muhammad Khazin, Babakan, Kedayunan…”. Nama Dusun Babakan, Desa Kedayunan, kemungkinan merujuk pada nama tempat di Kecamatan Kabat, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur.
Manuskrip lainnya bahkan masih asing untuk pembaca seperti saya. Mukadimahnya berbunyi: “…maka adalah sebuah kitab yang bernama atas sah janda buta…”. Dalam berbagai koleksi, saya belum pernah menjumpai judul “Janda Buta” itu. Biarlah peneliti yang nanti mungkin akan membedahnya.
Alhasil, saya dapat memastikan bahwa atas koleksi manuskrip Indonesia di Qatar ini cukup penting untuk dilakukan penelitian, baik teksnya, maupun sejarah koleksinya. Apalagi, ketika pada 1999 saya ikut membantu Henri Chambert-Loir menyusun buku Khazanah Naskah: Panduan Koleksi Naskah Indonesia se-Dunia (Jakarta: YOI dan EFEO, 1999), tidak ada satu koleksi pun di negara-negara Arab yang diketahui menyimpan manuskrip Indonesia. Kini tentu ceritanya akan berbeda, apalagi Qatar boleh dibilang sangat progresif dan terbuka terhadap kerjasama dengan dunia luar. Bukan tidak mungkin, kelak Qatar akan menjadi salah satu destinasi riset manuskrip-manuskrip Islam yang menggambarkan hubungan kuat Indonesia dengan dunia Arab Islam.
Belajar dari Qatar. Bagi saya, Qatar-Indonesia Years of Culture 2023, yang secara khusus mengangkat tema manuskrip-manuskrip beraksara Arab di Indonesia, mengandung sejumlah pesan penting, baik tersurat maupun tersirat.
Pertama, sudah sejak lama peradaban Islam Indonesia kurang diapresiasi oleh dunia Arab, apalagi banyak manuskripnya yang mungkin dianggap mengandung “sempalan” tafsir ajaran Islam, seperti mujarobat, primbon, dan sejenisnya. Akibatnya, Muslim Indonesia, dianggap pinggiran (peripheral). Pameran manuskrip Indonesia di Qatar memberi pesan bahwa peradaban Islam Indonesia bisa bersanding sejajar dengan peradaban Islam lain di dunia di Arab, Persia, atau Turki, sehingga Muslim Indonesia pun ditempatkan sebagai bagian tak terpisahkan (integral) dari dunia Muslim keseluruhan.
Kedua, manuskrip dapat menjadi bagian penting dari diplomasi kebudayaan untuk mengangkat marwah (dignity) negara. Qatar hampir tidak punya warisan manuskrip Arab-Islam sendiri, namun marwahnya terangkat ketika mengapresiasi warisan budaya negara lain, termasuk Indonesia. Sebaliknya, Indonesia mewarisi kekayaan besar manuskrip yang menggambarkan keragaman bahasa, aksara, budaya, tradisi, dan bahkan keragaman agama. Namun, manuskrip belum dijadikan sebagai salah satu panglima dalam diplomasi kebudayaan para elitnya. Bahkan, tema kebudayaan hanya terdengar sayup-sayup pelan sekali dalam hiruk-pikuk perbincangan debat calon Presiden dan calon Wakil Presiden beberapa waktu lalu.
Ketiga, manuskrip Arab, termasuk Jawi dan Pegon, dapat menjadi medium untuk merumuskan ulang pemahaman kita tentang relasi Indonesia dengan dunia Islam secara keseluruhan. Ini memang PR besar karena, mengutip keprihatinan A.C.S. Peacock (2024), “…the extent of Arabic literary production in and for the region has been greatly underestimated by earlier scholarship…”.
Ke depan, peluang kerjasama kebudayaan Indonesia-Qatar terbuka lebar. Sejak dahulu kala, sudah ada hubungan saling menguntungkan (resiprokal) yang sangat kuat antara budaya Indonesia dan dunia Arab, termasuk Qatar. Indonesia menyerap aksara Arab, banyak masyarakatnya juga menggemari “nasi mandi” ala Arab. Pun sebaliknya, rempah-rempah Indonesia menambah cita rasa tinggi masakan Arab. Kini, kekayaan budaya Indonesia turut menyemarakkan peradaban Arab.
Menjelang Indonesia Emas 2045, kita perlu merumuskan ulang strategi kebudayaan, yang di satu sisi harus mampu merawat ragam artefak budaya kita yang amat berharga, dan di sisi lain berkontribusi mengangkat marwah bangsa. Semoga!
Penulis: Oman Fathurrahman
Sumber: Alif.id