Mangoli, Kepuluan Sula – Tim Ekspedisi Patriot Universitas Indonesia (UI) melanjutkan perjalanan ke Desa Kaporo, Mangoli Selatan, Kepulauan Sula (4/11/25). Desa ini menyimpan potensi besar di bidang pertanian dan perikanan, namun terjebak dalam berbagai persoalan infrastruktur dan akses pelayanan publik. Desa Kaporo dikenal sebagai salah satu penghasil padi dan hasil laut. Lahan pertanian di sekitar desa cukup subur, didukung oleh sistem persawahan yang telah lama menjadi tumpuan warga. Akan tetapi, potensi tersebut belum termanfaatkan secara optimal akibat permasalahan mendasar pada infrastruktur pertanian. Pintu bendungan yang rusak membuat pengaturan air sawah menjadi tidak menentu.
Meskipun masyarakat Kaporo masih bisa menanam dan memanen padi, masalah utama mereka terletak pada ketiadaan subsidi pupuk. Harga pupuk komersial yang tinggi membuat banyak petani mengurangi jumlah tanam, sehingga produktivitas pertanian menurun dari tahun ke tahun. Hal ini menunjukkan adanya kebutuhan mendesak terhadap pendampingan pertanian berkelanjutan.
Ironisnya, kehadiran penyuluh pertanian yang seharusnya menjadi penghubung antara pemerintah dan petani tidak berjalan efektif. Masyarakat mengaku bahwa penyuluh datang hanya untuk mencatat laporan, lalu menghilang tanpa memberikan solusi nyata. Ketika warga membutuhkan bimbingan tentang manajemen air atau teknik tanam baru, mereka harus mengandalkan pengalaman pribadi atau tukar pengetahuan antarpetani. Ketidakhadiran peran penyuluh memperlebar jurang informasi dan memperlambat adopsi inovasi pertanian di Kaporo.
Selain bertani, sebagian besar warga menggantungkan hidupnya dari laut. Laut di sekitar Kaporo kaya akan ikan dan hasil tangkapan bernilai ekonomi tinggi. Namun, keterbatasan akses pasar membuat nelayan terpaksa menjual hasil tangkapan mereka kepada tengkulak di tengah laut. Para tengkulak inilah yang kemudian membawa ikan ke Bitung, Sulawesi Utara, untuk diolah dan dijual kembali dengan harga berlipat. Kondisi ini menimbulkan ketimpangan ekonomi yang tajam antara nelayan dan pedagang besar.
Ketiadaan fasilitas penyimpanan dingin (cold storage) juga menjadi kendala besar bagi nelayan Kaporo. Tanpa tempat penyimpanan yang layak, hasil tangkapan harus segera dijual, meskipun dengan harga rendah. Nelayan sering kali tidak memiliki posisi tawar karena ikan mudah membusuk di tengah panas.
Masalah lain yang jarang terungkap adalah ketakutan warga untuk melaporkan hasil bumi atau hasil laut mereka. Banyak yang khawatir akan dikenai pajak tambahan jika angka produksi diketahui publik. Akibatnya, data statistik resmi tentang potensi ekonomi Kaporo menjadi tidak akurat. Ketertutupan informasi ini menghambat perencanaan pembangunan dan distribusi bantuan pemerintah. Namun, di balik sikap tertutup itu terdapat kekhawatiran mendalam terhadap kebijakan yang dianggap tidak berpihak kepada rakyat kecil.
Akses menuju Kaporo menjadi tantangan tersendiri dalam kehidupan sehari-hari. Hubungan dengan pusat kecamatan hanya dapat dilakukan melalui jalur laut yang bergantung pada cuaca. Ketika ombak besar datang, kapal kecil tidak bisa berlayar. Kondisi ini tidak hanya menghambat mobilitas barang dan jasa, tetapi juga memperlambat penanganan keadaan darurat seperti kesehatan atau pendidikan. Dalam situasi seperti ini, masyarakat harus mengandalkan solidaritas internal untuk saling membantu.
Dalam konteks pembangunan daerah, Desa Kaporo mencerminkan dilema klasik antara potensi besar dan akses terbatas. Tanpa perbaikan bendungan, subsidi pupuk, dan infrastruktur transportasi, masyarakat akan terus berputar dalam siklus bertahan hidup. Namun, daya tahan sosial yang mereka tunjukkan adalah modal penting untuk program pembangunan berbasis komunitas. Masyarakat Kaporo tidak hanya menunggu bantuan, tetapi juga siap berkolaborasi untuk perubahan.
Tim Ekspedisi Patriot UI mencatat bahwa perbaikan utama yang dibutuhkan bukan hanya fisik, tetapi juga kelembagaan. Pemerintah daerah perlu memperkuat fungsi penyuluh dan memperbaiki sistem informasi antara petani, nelayan, dan instansi teknis. Selain itu, dibutuhkan model ekonomi lokal yang adil agar hasil bumi dan laut tidak hanya menguntungkan pihak tengkulak. Pemberdayaan berbasis partisipasi warga menjadi kunci dalam mengurai persoalan ini.
Dengan segala keterbatasannya, Desa Kaporo menjadi simbol keteguhan masyarakat kepulauan menghadapi tantangan zaman. Potensi besar yang mereka miliki menunggu sentuhan kebijakan yang berpihak dan keberpihakan nyata dari para pemangku kepentingan. Tim Ekspedisi Patriot UI menutup kunjungan dengan pesan optimisme bahwa perubahan dapat dimulai dari mendengar dan memahami. Karena dari Kaporo, kita belajar bahwa ketahanan bukan hanya soal bertahan, tetapi juga tentang keberanian untuk berharap.
Penulis: Ardiansyah BS (TEP UI)
Foto: Ardiansyah BS (TEP UI)


