Edit Content

Taj al-Salatin: Mahakarya Manuskrip Melayu yang Mendunia

Dalam sejarah panjang peradaban manusia, naskah-naskah kuno bukan hanya menjadi saksi bisu perjalanan suatu bangsa, melainkan juga cermin nilai, seni, dan identitas budaya mereka. Salah satu contoh menakjubkan dari kekayaan ini adalah Taj al-Salatin — atau dalam terjemahan bebasnya, The Crown of Kings. Naskah Melayu mewah ini bukan hanya sebuah karya tulis biasa, melainkan sebuah mahakarya dalam seni manuskrip dunia Islam yang mencerminkan persilangan budaya antara Timur dan Barat.

Taj al-Salatin pertama kali dikarang pada tahun 1603 oleh Bukhari al-Johori di Aceh, sebuah kesultanan besar di utara Sumatra yang pada masa itu merupakan pusat perdagangan dan keilmuan Islam di kawasan Asia Tenggara. Buku ini merupakan mirror for princes — sejenis panduan etis untuk para penguasa — yang bertujuan menanamkan prinsip-prinsip pemerintahan yang adil, bermoral, dan berlandaskan nilai-nilai Islam.

Sekitar dua abad setelah penyusunannya, pada tanggal 4 Zulhijah 1239 Hijriah (31 Juli 1824 Masehi), sebuah salinan megah dari Taj al-Salatin dibuat di Pulau Pinang. Penyalinnya adalah Muhammad bin Umar Syaikh Farid, seorang juru tulis terampil yang tak hanya mahir menulis dengan tangan, tapi juga memahami seluk-beluk estetika naskah mewah.

Pulau Penang sendiri, pada awal abad ke-19, telah berkembang menjadi pusat perdagangan penting di bawah kekuasaan Inggris, mempertemukan budaya Melayu, India, Arab, dan Eropa. Dalam konteks inilah, Taj al-Salatin dari Penang menjadi saksi dari pertukaran budaya yang begitu dinamis. Naskah Taj al-Salatin ini layak disebut sebagai produk bibliografi mewah dalam segala aspeknya. Dimulai dari sampulnya yang terbuat dari kulit berwarna merah dan emas, setiap detail dalam naskah ini memperlihatkan dedikasi luar biasa terhadap seni.

Pada awal dan akhir naskah, terdapat bingkai iluminasi ganda yang sangat memukau. Tidak seperti kebanyakan manuskrip Melayu lainnya, bingkai awal ini justru mengadopsi gaya Indo-Persia dan Ottoman, yang memperkaya kosakata visualnya. Misalnya:

  • Komposisi bingkai cenderung berbentuk persegi panjang dengan ornamen padat, bertolak belakang dengan tradisi Melayu yang lebih menyukai garis lengkung yang dramatis.
  • Setiap halaman dibingkai oleh garis berlapis dalam warna hitam, merah, dan emas.
  • Teksnya ditulis dengan tangan sangat halus menggunakan pena berujung tipis dalam tinta hitam.
  • Rubrikasi — penyorotan kata-kata tertentu dalam warna merah — digunakan secara sistematis untuk menandai kutipan Qur’an, istilah Arab, dan kata penghubung penting seperti adapun dan bermula.

Yang paling mencolok, pada halaman pembuka, teks ditempatkan dalam cloudbands — motif awan yang dihiasi tinta hitam di atas latar belakang emas. Teknik ini lazim di dunia Ottoman, Persia, dan India, namun hampir tidak dikenal di dunia manuskrip Melayu tradisional. Tidak hanya itu, penggunaan pigmen putih yang sebenarnya (bukan sekadar ‘putih kosong’ dari kertas) dalam iluminasi menjadi bukti pengaruh kuat budaya luar terhadap gaya visual manuskrip ini.

Menariknya, bingkai pada halaman akhir naskah menampilkan gaya yang berbeda. Tiga sisi luar halaman dibingkai oleh garis lengkung yang membentuk kubah bertingkat — suatu desain yang akrab dalam seni Islam di Oman dan Yaman, serta di dunia Melayu.

Penggunaan warna emas di bagian ini jauh lebih hemat, menciptakan kesan visual yang lebih bervariasi dibandingkan dengan kemewahan emas di awal naskah. Nama penyalin dan tanggal penyalinan dimasukkan dalam cartouche oval yang terletak di atas dan bawah blok teks, menunjukkan pengaruh Persia yang lebih kuat. Kemahiran Muhammad bin Umar Syaikh Farid dalam bahasa Melayu, Arab, dan Persia mengindikasikan bahwa ia mungkin adalah keturunan India — sebuah hipotesis yang logis mengingat konteks multikultural Pulau Penang pada masa itu.

Perjalanan Naskah: Dari Asia Tenggara ke Eropa

Setiap naskah kuno memiliki kisah perjalanan panjang yang kadang penuh dengan drama dan keajaiban, dan Taj al-Salatin ini tidak terkecuali. Sebuah catatan pada halaman depan menyebutkan:

“To the Revd. J. M. Rice, Brighton, from his brother, Ralph Rice, Recorder of Prince of Wales Island A.D. 1824. This M.S. is a Malay story & was made at Pinang in the above year – with a hope, that it wd receive admission, into the library, of so renowned a Bibliomanist, as is the said J. M. Rice.”

Sir Ralph Rice, yang menjabat sebagai Recorder di Pulau Pinang dari 1817 hingga 1824, tampaknya memesan naskah ini sebelum ia dipindahkan ke Bombay. Dari Bombay, ia menghadiahkan naskah ini kepada kakaknya, Revd. John Morgan Rice di Brighton, Inggris. Ini menunjukkan bagaimana naskah Melayu ini masuk ke dalam koleksi pribadi keluarga Rice sebelum akhirnya berpindah tangan.

Kemudian, naskah ini ditemukan dalam koleksi Percy M. Thornton, seorang politisi konservatif Inggris yang masih memiliki hubungan keluarga dengan John Morgan Rice. Pada tahun 1970, naskah ini dilelang di Sotheby’s London dan dibeli oleh British Museum. Tiga tahun kemudian, seluruh koleksi manuskrip British Museum, termasuk Taj al-Salatin, dipindahkan ke British Library, di mana naskah ini tetap dilestarikan hingga kini.

Taj al-Salatin bukan hanya dokumen sejarah. Ia adalah cerminan dari dunia Melayu abad ke-17 hingga 19 yang kosmopolitan dan terbuka terhadap pengaruh luar, tanpa kehilangan identitasnya. Naskah ini memperlihatkan:

  • Pertemuan Budaya: Bagaimana unsur seni Ottoman, Persia, India, dan lokal Melayu bisa berpadu dalam satu karya.
  • Pentingnya Ilmu dalam Kepemimpinan: Pesan moral dalam Taj al-Salatin tetap relevan hari ini — tentang pentingnya keadilan, kebijaksanaan, dan akhlak mulia dalam memimpin.
  • Warisan Manuskrip Islam: Menunjukkan keragaman tradisi manuskrip di dunia Islam, dari Istanbul hingga Aceh.

Dengan digitalisasi penuh oleh British Library, naskah ini kini menjadi sumber daya terbuka bagi para peneliti, sejarawan, dan pecinta budaya dari seluruh dunia. Ini sekaligus membuka peluang bagi kajian lebih lanjut tentang dinamika budaya Asia Tenggara di persimpangan jalur perdagangan dan intelektual dunia Islam.

Bagi para penguasa, ini merupakan mahkota sejati, perhiasan yang berkilau dalam bentuk  kebijaksanaan yang membimbing tangan mereka dalam memimpin rakyat. Taj al-Salatin mengingatkan kita akan prinsip ini — bahwa kekuasaan sejati terletak pada integritas, keadilan, dan kearifan.

Di tengah dunia modern yang kerap melupakan pelajaran masa lalu, naskah ini berdiri sebagai monumen keagungan budaya, menghubungkan kita dengan nilai-nilai abadi yang melampaui batas waktu dan ruang. The Crown of Kings, dengan segala kemegahan dan keindahannya, adalah warisan yang bukan hanya untuk bangsa Melayu, melainkan untuk seluruh umat manusia.

 

 

 

 

 

Referensi:

British Library. (28/04/2025). The Crown of Kings: A Deluxe Malay Manuscript from Penang. Asian and African Studies.

 

 

Share:

Facebook
Twitter
Email
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Social Media

Popular Post

Get The Latest Updates

Subscribe To Our Weekly Newsletter

No spam, notifications only about new products, updates.
Kategori
On Key

Related Posts