Oleh: Menachem Ali
Kitab Mahānirvāna Tantrā merupakan kitab sastra penting dalam tradisi keagamaan Siwa Siddhanta. Kitab ini aslinya ditulis dalam bahasa Sanskerta, dan dipublikasikan oleh Shrī Krishna Gopāla Bhakta pada tahun 1888 M., serta disertai komentar oleh Shrīmad Hariharānanda Bhāratī. Karya keagamaan dari ajaran Siwa Siddhanta ini kemudian diterjemahkan pertama kali ke dalam bahasa Inggris oleh Prof. Arthur Avalon dengan judul “Tantra of the Great Liberation – Mahānirvāna Tantra: A Translation from the Sanskrit with Introduction and Commentary (New York: Dover Publications, Inc., 1972).
Tantrāyanā yang merupakan ajaran penting dari persebaran aliran Siwa Siddhanta di Nusantara, memang tidak banyak diketahui oleh para peneliti. Namun, Tantrāyanā ini bisa diprediksi telah tersebar di Nusantara minimal sejak era abad ke-9 M. Hal ini ditandai dengan adanya temuan kitab Sārasamuccaya dalam bahasa Sanskerta dan Jawa Kuno yang ternyata ditulis oleh Bhagawān Wararuci pada abad ke-9 M. Prof. Dr. Raghu Vira menyatakan bahwa Sārasamuccaya adalah “Bhagavad-gita” bagi umat Hindu di Bali. Kitab ini ternyata merupakan penanda kuatnya aliran Siwa Siddhanta di Nusantara, khususnya di Bali. Hal ini terkait pula dengan persebaran filsafat Advaita sebagaimana yang dijabarkan oleh Srī Sankaracarya dalam komentar/penjelasan kitab Bhagavad-gita dan Brāhma Sutrā. Dengan demikian, ajaran Tantrāyanā dari aliran Siwa Siddhanta terkait erat dengan kitab Sārasamuccaya.
Kitab “Sanghyang Kamahayanikan” karya Mpu Sendok dan kitab Sārasamuccaya karya Bhagawān Wawaruci, ternyata keduanya sebagai referensi utama ajaran Siwa Siddhanta di Nusantara. Menariknya, keduanya ditulis pada abad ke-9 M. Selain itu, ada indikasi kuat bahwa istilah “ngaji” dan “pangajyan” versi Islam Nusantara memang terbukti dari pengaruh kitab Sarāsamuccaya abad ke-9 M. Artinya, Islam di Nusantara baru eksis pasca abad ke-9 M.
Pada abad ke-9 M., Indianisasi di Nusantara memang mengalami kegemilangan yang ditandai adanya kitab Sārasamuccaya sebagai “kitab Smrti Veda khas Nusantara.” Namun, pudarnya pengaruh Indianisasi telah menyejarah di Nusantara. Hal ini ditandai dengan kemunduran kebudayaan Sanskerta di Champa, Kamboja, dan Sumatra pada abad ke-14 M., dan menguatnya tatanan kultur setempat. Meskipun demikian, pada abad ke-14 M., ditandai pula dengan 2 karya “magnum opus” garapan Mpu Tantular.
Pertama, Kakawin Arjunawijaya. Karya ini ditelaah oleh S. Supomo, diedit dan diterbitkan dalam versi bahasa Jawa Kuno dan bahasa Inggris, lihat S. Supomo, Arjunawijaya: A Kakawin of Mpu Tantular. Bibliotheca Indonesica Vol. I – II (the Hague: Martinus Nijhoff, 1977). Kedua, Kakawin Sutasoma. Karya Mpu Tantular yang amat terkenal ini kini telah diterjemahkan dalam versi dwibahasa Jawa Kuna – Indonesia, lihat Dwi Woro R. Mastuti, Kakawin Sutasoma Mpu Tantular (Jakarta: Komunitas Bambu, 2009).
Fakta historis mundurnya hegemoni kebudayaan Sansekerta tersebut justru mengarah pada konstruksi dialektis interkultural antara peradaban Indo-Arya (Persia), Sanskerta (Indianisasi), dan Jawi-Melayu. Prof. Liaw Yock Fang mengidentifikasi keberadaan teks kesusasteraan peralihan antara periode Indianisasi dan Islamisasi. Terminologi ini tentu saja dapat diperdebatkan. Namun, istilah tersebut telah menjadi suatu konsensi di antara para peneliti dari era T.W. Arnold hingga M.C. Ricklefs untuk menggunakan terminologi “Islamisasi” dan bukan “Arabisasi”, sekalipun dalam konteks ini menjadi sedikit dapat dipertanyakan ketika disandingkan dengan terma “Indianisasi” seperti yang dipakai George Coedes.
Kesusasteraan peralihan berperan penting dalam mentransisikan antara unsur-unsur peradaban Indo-Arya (Persia), Sanskerta (Indianisasi), dan Jawi-Melayu sebagai hubungan interkultural. Proses ini mendorong terbentuknya identitas kultural melalui perkembangan semantik antara teks tafsir (exegetical text) sebagai penanda (signifier) dan yang ditandai (signified) berupa realitas sosiokultur sebagai konteks.
Webinar “Shi’ur Shabbat” akan berdiskusi tentang kaitan antara Tantrāyana sebagai penanda teologis dari ajaran Siwa Siddhanta di Nusantara. Begitu juga kaitannya antara unsur Tantrāyana dalam kitab-kitab Tafsir Melayu Klasik. Diskusi ini akan menggunakan analisis pembacaan penanda atau “Semiotika” yang dikembangkan oleh Sebeok untuk mengidentifikasikan sejumlah kosakata dalam sejumlah Tafsir Melayu Klasik seperti Batu Bersurat Trengganu (BBT), Fragmen Tafsir Al-Kahfi (Cambridge MS Ii.6.45 fol. 17), Tafsir Turjumān Al-Mustafid karya Syekh Abdurrauf Sinkel dari Aceh, Bustan as-Salikīn, Al-Muntahī, At-Tibyan fi Ma’rifah Al-Adyān, dan kitab Jawhar al-Haqāiq.
Diskursus terhadap pembacaan teks didasarkan pada analisis Johns (1970), Ricklefs (2003), dan Braginsky (2003, 2007) yang menganalisis unsur-unsur Tantrāyana dalam literatur-literatur esoteris Tasawuf Falsafi yang ditandai oleh kesejajaran penekanan konsep Monisme (Advaita) yang digagas oleh Srī Sankaracarya, baik di dalam tradisi esoteris Tantrāyana maupun esoteris Tasawuf Falsafi seperti yang disarankan oleh Vaziri (1956) dan Shah-Kazemi (2006).