Prumpung Sidoharjo, Dusun yang Menjadi Sekolah Alam Para Pemahat Batu

Oleh: Desiderius Alrin Rahadianto

Prumpung Sidoharjo, adalah sebuah dusun yang terletak Desa Tamanagung, Kecamatan Muntilan, lokasinya di jalan raya Yogya – Magelang sebelum pertigaan menuju tempat wisata Candi Borobudur. Kata Prumpung berasal dari Bahasa Jawa “kemruyung” atau keramaian orang-orang yang tengah berkumpul. Konon dusun ini dulu merupakan tempat istirahat para pekerja yang bertugas mengangkut batu dari lereng Gunung Merapi saat membangun Candi Borobudur. Juga merupakan tempat transit para pejabat dan pekerja Wangsa Sanjaya. Hal ini  dibuktikan adanya temuan arkelogis seperti pecahan keramik kuno, alat-alat dari besi, batu bata dan benda-benda lain ketika membangun monumen bambu runcing pada tahun 1975.

Setelah semakin ramai Dusun Prumpung berganti nama menjadi Sidoharjo dalam Bahasa Jawa, sido artinya jadi dan harjo berarti ramai, jadi Sidoharjo artinya menjadi ramai. Sekarang dikenal sebagai Prumpung atau Prumpung Sidoharjo. Dusun Prumpung, dikenal sebagai pelopor dari industri kecil arca, relief candi, perkakas dapur dan nisan dengan bahan dasar batu. Awal mula kerajinan ini dimulai dari pembuatan nisan. Namun sejak tahun 1957, kerajinan pahat batu berkembang dengan membuat arca dan relief candi, hingga akhirnya ketrampilan memahat ini merambah ke dusun tetangga yaitu Dusun Tejowarno dan Dusun Tangkilan, hingga ke daerah lain, yaitu Trowulan Jawa Timur. Dikarenakan para pemahat yang bekerja pada sanggar-sanggar pemahat di wilayah tersebut pindah ke daerah lain.

Sejatinya ketrampilan memahat arca maupun relief candi dimulai ketika tiga orang penduduk Prumpung yaitu Salim Djajapawiro, Wirodikromo dan mbah Mur pada tahun 1930 terlibat dalam pemugaran candi Borobudur. Ketrampilan memahat mereka terus berkembang yang awalnya hanya memahat nisan, muntu dan perkakas dapur yang lain, menjadi bisa membuat patung. Ketrampilan mereka akhirnya diturunkan ke anak mereka yaitu Doelkamid Djajaprana, Marto Doellah, Kasrin Endro Priyono hingga generasi ke generasi berikutnya.

Keberadaan Candi Borobudur, Candi Mendut dan candi candi lain di seputaran wilayah Muntilan, seperti Candi Ngawen, Candi Lumbung menunjukkan bahwa wilayah ini sudah ada sejak jaman dahulu. Dibuktikan dengan diketemukan prasasti batu di Desa Canggal, Kecamatan Salam, tepatnya di halaman komplek Candi Gunung Wukir. Prasasti yang kemudian dikenal sebagai Prasasti Canggal ditempatkan di Museum Nasional di Jakarta.

Prasasti berbentuk akolade berukuran: tinggi keseluruhan 120 cm, lebar 118 cm, dan tebal 24 cm. Angka tahunnya berbentuk candrasangkala berbunyi śruti indrya rasa (= 654 Śaka), ditulis dalam aksara Pallawa dan bahasa Sankerta, menyebutkan bahwa pada tanggal 13 paro terang bulan Kartika tahun 654 Śaka (= 6 Oktober 732), raja Śrī Sañjaya mendirikan  lingga di atas bukit Sthīrangga untuk tujuan keselamatan dan kesejahteraan rakyatnya. Secara umum, isi prasasti canggal merupakan pernyataan dari Raja Sanjaya sebagai seorang penguasa universal dari Kerajaan Mataram Kuno.

Secara khusus dalam bait 7 sampai dengan 12, menceriatakan kekayaan dan kemakmuran di wilayah Kerajaan Wangsa Sanjaya dengan hasil tambang dan padi yang melimpah, hingga rakyat yang bahagia, aman tidak ada kejahatan dan tentram.

Industri kerajinan arca semakin maju sekitar tahun 80 an hingga sekarang, namun sejak pandemi industri kerajinan sepi pemesan. Dahalu para pemesan tidak terbatas hanya local di Indonesia saja, tapi juga manca negara, seperti Perancis, Belanda, Jepang, Ameriak dan negara negara lain. Karena semakin banyaknya pemesanan, kebutuhan bahan baku juga semakin sulit di dapat di sekitar lereng Gunung Merapi. Hingga akhirnya harus mencari bahan baku dari luar, tidak terbatas hanya dnegan batu andesit, tapi juga batu hijau, batu marmer dari Tulungagung.

Dahulu ketika kerajinan ini masih sebagai proses berkesenian dari seorang pemahat. Ketika menjadi industri, bahan baku menjadi ada nilai atau harganya, karena para pemahat harus membeli dari pemilik lahan yang di sawah atau ladangnya ada batunya. Harga batu ini bisa senilai harga 7 ekor sapi atau kerbau. Karena besar batu yang Nampak di permukaan kecil tapi ketika digali besar batu bisa sebesar rumah. Sebelumnya pemilik lahan akan sawah atau ladang akan senang sekali batu di ambil dari lahan mereka secara gratis, karena memudahkan mereka untuk bercocok tanam.

Pada jaman dulu profesi ini disebut Jlogro, bukan pengrajin atau pekerjaan membuat patung yang tidak terbatas pada relief candi, patung dewa dewi, tapi juga bnetuk modern seperti tokoh pahlawan dll. Proses menjadi pemahat/pengrajin, ada beberapa tahapan, membuat batu rata serata mungkin, pahatan teratur tidak bergelombang, tablek (rata sekali). Hal ini membuat orang lebih rajin dan sabar menghadapi pekerjaannya dan ini dipelajari setengah sampai satu tahun, kemudian kedua membuat sket sesuai dengan teori dan pikiran orang yang memahat atau pengrajin kurnng lebih setengah tahun, tapi ini terbatas pada barang yang laku untuk dijual. Untuk kualitas perlu sepuluh tahun dan yang terakhir adalah finishing, yaitu mengkur keharmonisan anatomi patung dan membuat detail ornament, tapi ini tidak bisa dibakukan tergantung orangnnya sendiri. Ada yag membutuhkan 5 tahun tapi ada juga yang membutuhkan 3 tahun, dibutuhkan latihan terus menerus.

Tingkatan tingkatan memang ada, biasaya untuk menyebutkan seseorang yang hanya bisa membuat kotakan dan membentuk global sebutannya tukang pecrok, untuk yang ahli dalam arti yan pinter, hasil baik disebut dengan pemahat meskipun sudah puluhan tahun. Biasanya hanya membuat kotakan atau membentuk globalnya saja yang gajinya sama dengan gaji tukang pecrok.

Selaian sepinya pemesanan, sejak covid, keberlangsungan penerus juga menjadi permasalahan tersendiri. Dahulu ketika penulis melakukan riset ini sebgai tugas akhir di akhir tahun 1997. Anak anak para pengrajin terlihat melalukan proses menjadi seorang pemahat sepulang dari sekolah. Namun sekarang hal ini tidak Nampak, karena generasi kelahiran tahun 2000 an tidak tertarik untuk menekuni pekerjaan ini, apalagi anak anak usia sekolah dasar saat ini, mereka lebih tertarik dengan gadget.

Share:

Facebook
Twitter
Email
WhatsApp

Respon (1)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Social Media

Popular Post

Get The Latest Updates

Subscribe To Our Weekly Newsletter

No spam, notifications only about new products, updates.
Kategori
On Key

Related Posts

Sampai Bertemu Lagi, Pa

PENULIS: drg. Diah Puji Astuti, MM., Cht, EDITOR: Pram TEBAL HALAMAN: 95 UKURAN BUKU: 15,5 x 23 cm…