Edit Content

‘Gadis Manis’ di Persimpangan Tambang Kawasan Transmigrasi Mangoli: Desa Minaluli

Minaluli dalam bahasa Sula terdiri dari dua kata: mina berarti manis dan luli bermakna gadis. Nama ini mencerminkan kesuburan tanah, keramahan warganya, dan potensi alam yang besar. Namun di balik keindahan tersebut, desa ini kini berada di persimpangan jalan antara pembangunan ekonomi dan kerusakan lingkungan. Kehadiran aktivitas perusahaan kayu dan izin usaha pertambangan menjadi simbol dari dilema modernisasi di daerah periferi. Pertanyaan besar muncul: apakah berkah perusahaan kayu dan izin usaha pertambangan mampu menutupi musibah yang berpotensi menyertainya?

Kerusakan hutan menjadi masalah serius di sekitar Minaluli. Penebangan perusahaan kayu dengan cara ‘cabut akar’, menurut keterangan yang ditemukan Tim Ekspedisi Patriot di lapangan, dan izin usaha pertambangan menyebabkan berkurangnya tutupan vegetasi. Dampak lanjutannya adalah banjir dan longsor yang menjadi bahaya laten ketika turun hujan. Lahan pertanian yang menjadi sumber pangan warga pun mulai terancam.

Kehadiran perusahaan memang sering disebut sebagai berkah karena membuka lapangan kerja dan memperbaiki infrastruktur. Jembatan yang sebelumnya terputus, kini sebagian sudah tersambung. Beberapa warga mendapat pekerjaan, sementara pemerintah desa memperoleh dana tambahan dari aktivitas ekonomi ini. Namun, berkah tersebut tidak datang tanpa harga yang mahal. Alam Minaluli yang dulu asri mulai berubah wajah.

Air, sebagai sumber kehidupan utama, kini juga tidak lagi sepenuhnya bersih. Air yang sebelumnya digunakan untuk minum, mandi, dan irigasi mulai menimbulkan kekhawatiran kesehatan. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa tambang logam dapat meninggalkan residu berbahaya seperti merkuri dan sianida (WALHI, 2020). Situasi ini menimbulkan dilema: memilih tambang atau kesehatan jangka panjang.

Dari sisi ekonomi, pendapatan dari tambang memang tampak menjanjikan. Namun, ketergantungan pada industri ekstraktif menciptakan risiko besar ketika tambang berhenti beroperasi. Banyak desa tambang di Indonesia yang akhirnya menjadi desa “hantu” setelah eksploitasi selesai (JATAM, 2018). Ketahanan ekonomi berbasis pertanian dan perikanan yang dulu menjadi kekuatan, kini terancam hilang. Minaluli pun bisa menghadapi nasib serupa.

Pemerintah daerah berperan penting dalam menyeimbangkan berkah dan musibah. Regulasi yang ketat diperlukan untuk memastikan perusahaan apapun yang beroperasi di Minaluli menjalankan praktik ramah lingkungan. Namun, lemahnya pengawasan sering membuat aturan hanya berlaku di atas kertas. Di Minaluli, warga sering merasa bahwa suara mereka tidak cukup didengar dalam pengambilan keputusan. Transparansi dan partisipasi publik menjadi kunci agar kehadiran perusahaan apapun tidak menjadi bencana.

Kajian akademik menyebutkan bahwa pembangunan di daerah periferi harus berbasis pada keberlanjutan (Sachs, 2015). Artinya, kegiatan ekonomi tidak boleh mengorbankan lingkungan dan generasi mendatang. Dalam konteks Minaluli, pendekatan ini menuntut integrasi antara pertanian, perikanan, dan pemanfaatan lahan yang bijak. Tanpa visi keberlanjutan, desa ini akan kehilangan identitasnya sebagai “gadis manis”. Sebaliknya, ia bisa menjadi contoh kegagalan pembangunan di kawasan transmigrasi.

Sejarah transmigrasi di Indonesia menunjukkan bahwa keberhasilan suatu desa tergantung pada pengelolaan sumber daya alam. Desa yang menjaga keseimbangan ekologis cenderung lebih tahan terhadap krisis. Sebaliknya, desa yang terlalu bergantung pada eksploitasi tambang atau komoditas tunggal sering jatuh dalam kemiskinan struktural (Fearnside, 1997). Oleh karena itu, Minaluli harus belajar dari pengalaman daerah lain. Keberlanjutan harus menjadi prioritas utama.

Upaya penyelamatan lingkungan Minaluli bisa dimulai dari gerakan masyarakat sipil. Pendidikan lingkungan, gerakan penghijauan, dan advokasi hukum bisa menjadi sarana penting. Mahasiswa, peneliti, dan LSM juga dapat membantu memberi solusi berbasis riset. Misalnya, pemanfaatan teknologi ramah lingkungan dalam pertambangan atau pengembangan energi terbarukan. Kolaborasi lintas sektor adalah kunci perubahan.

Dalam konteks nasional, Minaluli mencerminkan dilema pembangunan di banyak wilayah Indonesia. Negara ingin mendorong investasi, tetapi sering kali mengabaikan risiko sosial-ekologis. Hal ini memperlihatkan kontradiksi kebijakan pembangunan. Minaluli hanyalah satu dari banyak potret serupa.

Desa Minaluli benar-benar berada di persimpangan antara berkah dan musibah. Nama “gadis manis” bisa tetap melekat jika pembangunan dilakukan dengan bijak, adil, dan berkelanjutan. Minaluli seharusnya menjadi simbol bahwa pembangunan di kawasan transmigrasi harus menyeluruh, tidak parsial. Inilah pelajaran penting yang harus kita renungkan bersama.

 

 

 

Referensi

  • (2020). Laporan Lingkungan Hidup Indonesia. Jakarta: Wahana Lingkungan Hidup Indonesia.
  • (2018). Krisis Tambang di Daerah Transmigrasi. Jakarta: Jaringan Advokasi Tambang.
  • Sachs, J. (2015). The Age of Sustainable Development. New York: Columbia University Press.
  • Fearnside, P. M. (1997). Transmigration in Indonesia: Lessons from Its Environmental and Social Impacts. Environmental Management, 21(4), 553–570.

Share:

Facebook
Twitter
Email
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Social Media

Popular Post

Get The Latest Updates

Subscribe To Our Weekly Newsletter

No spam, notifications only about new products, updates.
Kategori
On Key

Related Posts