Siapa sangka gagasan tentang manusia mesin, atau humanoid automaton, ternyata bukanlah temuan modern? Lebih dari 700 tahun yang lalu, di tanah Irak atau Suriah, seorang insinyur Muslim bernama Ismāʿīl al-Jazarī menciptakan mesin-mesin mekanis yang mampu meniru gerakan manusia. Lewat karyanya berjudul Kitāb fī maʿrifat al-ḥiyal al-handasiyya, atau dikenal juga sebagai The Book of Knowledge of Ingenious Mechanical Devices, al-Jazarī mengabadikan lebih dari seratus rancangan alat, termasuk automaton berbentuk manusia.
Automaton dalam konteks sejarah bukan sekadar mainan atau pajangan. Di tangan al-Jazarī, automaton bukan hanya alat hiburan untuk pesta minum para bangsawan Artuqid, tetapi juga media untuk memahami prinsip mekanika yang kompleks. Bayangkan, pada abad ke-13 sudah ada mesin yang mampu menuangkan minuman sendiri atau mencuci tangan manusia tanpa sentuhan!
Tradisi ini sesungguhnya sudah mengakar sejak masa Yunani Kuno, seperti Heron dari Alexandria yang hidup pada abad pertama Masehi. Namun al-Jazarī membawa automaton ke level baru dengan menerapkan prinsip-prinsip teknik yang sangat maju, seperti penggunaan poros engkol, roda gigi segmen, sistem kontrol umpan balik, dan mekanisme pengatur waktu. Hal ini membuktikan bahwa jauh sebelum René Descartes membandingkan tubuh manusia dengan mesin pada abad ke-17, para insinyur Muslim telah lebih dulu merintis pemikiran serupa.
Keunikan karya al-Jazarī terletak bukan hanya pada keberaniannya membayangkan manusia sebagai mesin, melainkan juga pada dokumentasi yang sangat rinci. Setiap alat dalam bukunya disertai gambar-gambar detail serta petunjuk lengkap cara pembuatannya. Bayangkan seolah membaca buku panduan modern yang ditulis delapan abad lalu, namun berisi desain air mancur musik, jam air berbentuk gajah, hingga pompa air dengan mekanisme hisap berulang.
Yang menarik, automaton humanoid al-Jazarī dirancang untuk membuat tamu pesta kagum. Dengan gerakan lengan yang bisa menuang air atau minuman secara otomatis, alat ini menjadi simbol kemewahan sekaligus kecanggihan teknologi masa itu. Tapi di balik fungsi hiburan, tersimpan filosofi mendalam: bahwa tubuh manusia bisa dipahami sebagai sistem yang bekerja dengan prinsip mekanis tertentu.
Ismāʿīl al-Jazarī sendiri bukan sekadar tukang atau pembuat alat. Ia adalah kepala insinyur di istana Artuqid di Diyār Bakr dan bekerja di bawah perlindungan Sultan Nāṣir al-Dīn Maḥmūd. Karyanya bukan hanya mencerminkan kecerdasan pribadi, tetapi juga buah dari tradisi panjang teknik Islam, melanjutkan karya para insinyur sebelumnya seperti Banū Mūsā bersaudara.
Ketika membandingkan teknologi al-Jazarī dengan masa kini, kita mungkin terkejut betapa prinsip-prinsip dasar teknik modern sudah dirumuskan sejak lama. Sistem kontrol dan umpan balik misalnya, adalah dasar dari robotika dan kecerdasan buatan saat ini. Ini menunjukkan bahwa perjalanan antara filosofi dan teknologi, antara tubuh dan mesin, sudah dimulai jauh sebelum Revolusi Industri.
Namun sayangnya, banyak dari penemuan al-Jazarī yang terlupakan atau dianggap sekadar keajaiban kuno. Padahal, buku tersebut layak ditempatkan sejajar dengan karya-karya besar teknik dari Eropa maupun Tiongkok. Kini, lembaran-lembaran dari Kitāb fī maʿrifat al-ḥiyal al-handasiyya tersimpan di museum-museum dunia, seperti The Metropolitan Museum of Art di New York.
Merenungkan kembali kisah automaton humanoid dari abad ke-13 ini, kita disadarkan bahwa imajinasi manusia tentang mesin yang meniru dirinya sendiri adalah bagian dari perjalanan panjang peradaban. Dari Yunani Kuno, Islam Abad Pertengahan, hingga era kecerdasan buatan saat ini, satu benang merah tetap terjaga: rasa ingin tahu tentang bagaimana tubuh dan teknologi bisa saling mencerminkan.
Dan siapa tahu, mungkin di masa depan, automaton yang dulu sekadar menghidangkan minuman akan berubah menjadi mitra kerja manusia sepenuhnya. Tapi setidaknya, kita harus ingat bahwa semua itu berakar dari tangan-tangan kreatif seperti al-Jazarī, sang insinyur dari abad ke-13 yang membayangkan manusia sebagai mesin, dan mesin sebagai bagian dari manusia.
Selain memuat desain automaton humanoid, Kitāb fī maʿrifat al-ḥiyal al-handasiyya memiliki cakupan yang jauh lebih luas. Al-Jazarī membagi bukunya menjadi enam kategori utama yang mencerminkan berbagai kebutuhan praktis masyarakat saat itu: mulai dari jam air, alat untuk menuang minuman, perangkat wudhu otomatis, air mancur dengan musik, mesin pengangkat air, hingga mekanisme lain yang sulit dikategorikan. Setiap kategori tidak hanya menunjukkan kecanggihan teknik tetapi juga sensitivitas budaya Islam terhadap kebersihan, ritual keagamaan, dan hiburan.
Salah satu bagian paling terkenal dari kitab tersebut adalah desain jam gajah (elephant clock). Jam ini bukan hanya penunjuk waktu, melainkan juga simbol persatuan budaya. Di dalamnya terdapat elemen-elemen dari India, Mesir, Persia, dan Yunani, semua diwujudkan dalam satu alat yang berfungsi menggunakan sistem air dan mekanisme jatuhan bola. Ini membuktikan bagaimana al-Jazarī tidak sekadar membuat alat praktis, tetapi juga memasukkan nilai-nilai estetika dan filosofi lintas budaya dalam karyanya.
Kitab al-Jazarī juga memiliki nilai edukasi yang tinggi. Tidak seperti banyak karya teknik lain yang hanya ditujukan bagi kalangan khusus, al-Jazarī menulis dengan bahasa yang cukup mudah dipahami dan melengkapi setiap penjelasan dengan ilustrasi detail. Ia bahkan mencantumkan langkah-langkah konstruksi, daftar bahan yang diperlukan, dan saran perawatan mesin. Ini menjadikan bukunya sebagai semacam buku pegangan bagi insinyur masa itu—sesuatu yang jarang ditemukan dalam tradisi penulisan ilmiah abad pertengahan.
Hal menarik lainnya adalah perhatian al-Jazarī terhadap estetika dan seni. Banyak alat yang ia desain tidak hanya fungsional tetapi juga indah dipandang. Misalnya, air mancur yang bergerak mengikuti irama musik atau automaton yang dibentuk menyerupai manusia dengan pakaian dan ornamen khas. Ini menunjukkan bahwa dalam pandangan al-Jazarī, teknologi dan seni adalah dua hal yang saling melengkapi, bukan terpisah.
Lebih dalam lagi, Kitāb fī maʿrifat al-ḥiyal al-handasiyya bukan sekadar buku teknik, tetapi juga cermin dari semangat ilmiah Zaman Keemasan Islam. Al-Jazarī menggabungkan eksperimen, observasi, dan dokumentasi secara sistematis—sesuatu yang mendahului metode ilmiah modern. Dengan kata lain, kitab ini bukan hanya warisan sejarah, tetapi juga sumber inspirasi bagi insinyur, seniman, dan filsuf teknologi masa kini yang ingin memahami akar pemikiran mekanika dan desain sistem cerdas dari masa lalu.
Sumber: Centre for the Study of Medicine and the Body in the Renaissance – CSMBR