Pelabuhan adalah simpul penting dalam rantai pasok global. Ia berfungsi sebagai gerbang keluar masuk barang, sekaligus pusat distribusi perdagangan antarwilayah. Di Indonesia, keberadaan pelabuhan menjadi kunci untuk menghubungkan daerah terpencil dengan pusat ekonomi nasional. Namun, sering kali pelabuhan menghadapi persoalan efisiensi operasional. Kasus Terminal Mangole di Maluku Utara memberikan gambaran menarik tentang tantangan dan peluang yang ada.
Studi tentang efisiensi pelabuhan Mangole menyoroti kapal perdana MV Green Raccoon V.028. Kapal ini menjalani aktivitas bongkar muat di Terminal Khusus (TUKS) milik Mangole Timber Producers. Kajian dilakukan dengan metode kualitatif melalui studi kasus. Fokus utamanya adalah pada perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi kegiatan kapal tersebut. Dari sini diperoleh data penting tentang bagaimana faktor internal dan eksternal memengaruhi efisiensi operasional.
Salah satu temuan utama adalah pengaruh faktor alam, khususnya hujan deras. Hujan menyebabkan waktu menganggur (idle time) yang cukup panjang. Dalam operasi pertama ini, sekitar 18 jam hilang hanya karena kondisi cuaca. Hal ini menunjukkan bahwa infrastruktur dan perencanaan pelabuhan harus sensitif terhadap iklim tropis Indonesia. Dengan mitigasi cuaca yang tepat, efisiensi bisa lebih ditingkatkan.
Meski menghadapi kendala alam, operasi bongkar muat justru melampaui target. Kapal berhasil memuat 9.501 ton barang dalam waktu kurang dari lima hari. Angka ini lebih cepat dari target semula yang diperkirakan lima hari penuh. Capaian ini menunjukkan adanya potensi besar jika manajemen pelabuhan mampu meminimalisasi hambatan. Efisiensi pelabuhan pun terbukti bisa dicapai meskipun dengan sumber daya terbatas.
Perencanaan kegiatan kapal melibatkan tiga tahap: pra-sandar, saat sandar, dan pasca-sandar. Pada tahap pra-sandar, koordinasi dilakukan dengan otoritas lalu lintas laut, kesehatan pelabuhan, serta jasa pemanduan kapal. Tahap ini sangat krusial untuk memastikan kapal tiba tepat waktu dan siap untuk bongkar muat. Pada tahap sandar, koordinasi dengan nahkoda dan operator kargo menjadi penentu kelancaran. Sedangkan pada tahap pasca-sandar, dokumentasi dan laporan menjadi fokus utama untuk evaluasi.
Selain aktivitas kapal, terminal juga mengatur target operasional yang cukup ambisius. Mereka menargetkan bongkar muat lebih dari 2.000 ton per hari. Dengan dukungan enam truk dan dua unit forklift, target ini bisa tercapai bahkan terlampaui. Sistem operasi 24 jam non-stop menjadi strategi untuk menjaga ritme kerja. Hal ini penting agar kapal tidak terlalu lama menunggu di dermaga.
Simulasi operasional juga dilakukan untuk mengukur siklus waktu secara detail. Dari gudang penyimpanan, truk harus melewati gerbang penimbangan sebelum menuju dermaga. Rata-rata satu siklus truk memakan waktu 33 menit. Simulasi ini membantu manajemen memahami pola pergerakan logistik. Dengan begitu, mereka bisa menemukan titik-titik yang bisa dioptimalkan.
Hasil evaluasi menunjukkan bahwa pelayanan kapal bisa selesai hanya dalam 4,6 hari. Angka ini lebih cepat dari target lima hari, meskipun ada idle time akibat hujan. Kinerja bongkar muat mencapai 2.260 ton per hari, melampaui target 2.000 ton. Hal ini membuktikan bahwa sistem yang diterapkan cukup efektif. Namun, masih ada ruang untuk perbaikan, terutama pada aspek kesiapan menghadapi cuaca.
Idle time sendiri terbagi atas faktor internal, eksternal, dan alam. Faktor internal mencakup keterlambatan operator atau peralatan. Faktor eksternal bisa berupa keterlambatan truk atau buruh pelabuhan. Sedangkan faktor alam utamanya adalah cuaca buruk. Dengan mengidentifikasi penyebab ini, manajemen pelabuhan bisa menyusun strategi pengurangan idle time di masa depan.
Dari sisi ekonomi, efisiensi pelabuhan berdampak langsung pada biaya logistik. Kapal yang lebih cepat selesai bongkar muat akan mengurangi biaya sandar. Hal ini pada akhirnya menekan ongkos distribusi barang. Harga produk pun bisa lebih kompetitif di pasar. Bagi daerah seperti Maluku Utara, hal ini penting untuk mendorong pertumbuhan ekonomi regional.
Dari sisi lingkungan, efisiensi pelabuhan juga punya manfaat besar. Kapal yang tidak terlalu lama menunggu di dermaga akan mengurangi konsumsi bahan bakar. Emisi karbon pun bisa ditekan. Dalam konteks global, hal ini mendukung upaya menurunkan dampak perubahan iklim. Dengan kata lain, efisiensi operasional sekaligus mendukung keberlanjutan lingkungan.
Kajian ini juga menunjukkan pentingnya dokumentasi yang rapi. Setiap tahap kegiatan kapal harus tercatat dengan baik. Dokumen seperti Vessel Berthing Request dan Statement of Facts menjadi acuan dalam evaluasi. Dengan dokumentasi yang lengkap, transparansi operasional lebih terjamin. Selain itu, data historis bisa digunakan untuk menyusun strategi berikutnya.
Pelajaran lain yang bisa dipetik adalah pentingnya komunikasi antar pemangku kepentingan. Bongkar muat kapal melibatkan banyak pihak, mulai dari otoritas pelabuhan, operator truk, hingga buruh pelabuhan. Koordinasi yang buruk bisa menyebabkan penundaan. Sebaliknya, komunikasi yang baik mampu mengurangi potensi idle time. Hal ini terbukti di Mangole, di mana koordinasi intensif membantu mempercepat proses.
Dalam jangka panjang, studi ini bisa menjadi rujukan bagi pelabuhan lain di Indonesia. Banyak pelabuhan kecil menghadapi persoalan serupa: cuaca tropis, keterbatasan alat, dan koordinasi tenaga kerja. Dengan strategi yang tepat, semua hambatan itu bisa diminimalisasi. Mangole bisa menjadi contoh bahwa efisiensi bukan hanya milik pelabuhan besar. Bahkan pelabuhan khusus sekalipun bisa menunjukkan kinerja yang unggul.
Sebagai penutup, studi ini mengingatkan kita bahwa pelabuhan adalah denyut nadi perekonomian maritim. Efisiensi bukan hanya soal angka, tetapi juga dampaknya bagi masyarakat dan lingkungan. Kasus Mangole menunjukkan bahwa kerja keras, perencanaan matang, dan evaluasi berkelanjutan dapat menghasilkan prestasi. Tugas berikutnya adalah memastikan pembelajaran ini diterapkan lebih luas. Dengan begitu, pelabuhan-pelabuhan Indonesia bisa menjadi motor pertumbuhan ekonomi yang lebih kuat dan berkelanjutan.
Sumber: Enhancing Port Efficiency, A Case Study at Mangole Timber Producers’ Terminal in North Maluku, Indonesia
Reviewer: Ardiansyah BS