Oleh: Rijal Mumazziq Zionis
Sebuah foto karya Rudolf Franz Lehnrat yang diambil di Tunisia, sekitar tahun 1906. Wajah yang fotogenik dan magnetik. Kemudian foto tersebut dilukis ulang dengan sorban hijau melilit, dan…..diberi narasi jika ini adalah visualisasi wajah Baginda Rasulullah saat remaja. Alamaaaak!
Foto dan lukis adalah karya seni. Namun estetika tetap memiliki panduan etika, bagi saya. Kalaupun hingga saat ini dipercayai oleh segelintir orang kalau ini adalah karya seni yang mengekspresikan wajah Baginda Rasulullah saat remaja dan menemui Buhaira, saya tidak setuju. Beritanya saja hoaks. Anda setuju dengan ketidaksetujuan saya, silahkan. Nggak, juga no problem. Yang pasti, jika fotografi bisa diselewengkan maknanya dan narasinya yang menjebak dan menyesatkan, apalagi dengan karya lukis manual, yang berbasis imajinasi senimannya.
Begini, soal obyek visual khususnya dalam bentuk lukisan, selalu saja hasilnya beda satu sama lain. Walaupun obyeknya sama. Kita bisa mengecek lukisan wajah Pangeran Diponegoro. Antara sketsa yang dibuat secara langsung Adrianus Johan Bik, dengan sketsa arang karya seniman Yogya, juga dengan lukisan yang dibikin Raden Saleh, juga Basuki Abdullah, karakter wajahnya beda satu dengan yang lain. Yang valid yang mana? Bik dan pendukungnya bisa mengklaim jika karyanya yang paling valid sebab dilukis saat Diponegoro dipenjara di Batavia sebelum ke Manado.
Oke, jika satu sosok biasa saja bisa ada banyak versi lukisan, maka tentu rasional jika para ulama menyatakan larangan penggambaran visual Rasulullah ini. Sudah ada beberapa penjelasan ulama tentang hal ini. Bisa kita lacak, termasuk pendapat Prof Quraish Shihab dan ulama Indonesia lain.
Kalaupun di al-Qur’an dan hadits tidak ada dalil spesifik larangan melukis pribadi Baginda Rasulullah, maka hal ini tentu tidak berarti dibolehkan. Ada perangkat ushul fiqhdan etika tasawwufyang mengkaji-nya melalui pola istidlal yang khas. Misalnya makan umbi gadung tidak ada aturan larangan di al-Qur’an dan hadis. Apakah umbi ini haram? Tidak. Apalah bukan ini boleh disantap? Bukankah aturan teknisnya tidak dibahas di kitab suci dan hadits nabi? Silahkan dinikmati. Asalkan diolah dulu, agar racunnya ilang.
Dan, ketika kita memahami aturan dalam sains melalui pendapat para ilmuwan, maka sudah sewajarnya kita juga menerima pendapat para ulama dalam soal ini. Minimal penjelasan dari Prof. Quraish Shihab yang lebih moderat. Kalaupun dalam ranah sosiologis-antropologi dan seni “dibolehkan” saja menggambarkan visualisasi tokoh sakral, maka wilayah yang masih diperdebatkan karena berbeda irisan dengan sisi sakralitas dan esoterik ajaran agama. Ini sama halnya, saya boleh makan bebek goreng dalam wilayah kuliner dan itu mendapatkan restu dari para koki dan para Abu Lahap (tukang makan hahaha). Mereka akan menyajikan komposisi bahan rempah dalam masakan bebek hingga hasilnya maknyusdan menagihkan.
Namun tentu berbeda jika saya konsultasi dengan Dokter Heri Munajib. Dia akan melarang karena kandungan kolesterol dalam tubuh saya sudah melampaui ambang batasnya. Di sinilah perlu kedewasaan menimbang perbedaan sudut pandang dalam kajian dan metodologinya.
Soal menikmati hasil berkesenian dalam batas etika saya suka, sangat suka dua karya sineas muslim. Mustafa Akkad melalui Arrisalah (The Message). Film drama-epos-historis yang dirilis 1976. Film ini dirilis dalam dua edisi, Arab dan Inggris. Akkad tidak terjebak dalam menye-menyememvisualisasikan tubuh dan suara Baginda Rasulullah. Justru dia dengan cerdas berkesperimen dengan tidak sekalipun menampilkan suara dan fisik Baginda Rasulullah.
Sebagai gantinya, penulis skenario berusaha menempatkan agar para aktor melakukan dialog cerdas, dan penonton bisa secara efektif mendapatkan efek dramatis atas kondisi keseharian para sahabat Baginda Rasulullah. Silahkan ditonton lagi film bagus ini. Karya seni yang luar biasa.
Anthony Quinn, aktor watak Hollywood yang juga memerankan Syekh Umar Mukhtar Libya dalam “Lion of The Desert” (1981) justru menjadi bintang utama dalam memerankan Sayyidina Hamzah bin Abdul Muthalib, pamanda Baginda Rasulullah. Irene Papas juga tak kalah cemerlang memerankan sosok Hindun binti Utbah, dan Johny Sekka sangat legendaris memerankan Bilal bin Rabah dengan adegan ikoniknya, adzan di atas punggung Ka’bah. Allah…Allah…Allah….mata saya selalu mengembun jika menyaksikan adegan ini.
Karya seni lain ditangani oleh Majid Majidi dalam Muhammad: The Messenger of God(2015). Sutradara Iran itu ciamik dalam berkarya dan naskahnya yang elok ditulis bersama dengan Kambuzia Partovi. Film tersebut berlatar belakang abad keenam di era masa kecil Muhammad Shalallahu alaihi wasallam.
Majid Majidi dengan cerdas tidak terpaku pada dimensi fisual fisik calon Nabi bernama Muhammad Shalallahu alaihi wa sallam. Dia dengan cerdas menampilkan suasana bangsa Arab, penyerbuan Ka’bah oleh pasukan Abrahah, dan konteks zaman detik-detik kelahiran kandidat Rasulullah.
“Saya membuat film ini untuk memerangi gelombang baru Islamofobia di dunia Barat. Interpretasi Barat atas Islam adalah penuh kejahatan dan terorisme,”ujar Majidi saat diwawancara Hezbollah Line, majalah konservatif di kalangan Iran.
Bagi saya, karya Majid Majidi adalah di antara yang terbaik. Baik dalam alur cerita, spesial efek, hingga penggunaan yang kamera artistik. Dia melakukannya dengan dukungan bujet bongsor, dan setelah dirilis, walaupun tetap ada kontroversi di sana sini, namun tak mengurangi hasil cipta karyanya. Epik, betul!
Di Bollywood, karya ini hanya bisa dibikin oleh sutradara favorit saya, Sanjay Leela Bhansali. Dan, di Hollywood, sentuhan sinematografi semacam ini urusan Francis Ford Coppola, saya kira.
Oke, kembali ke bahasa awal. Bagi saya, larangan memvisualisakan dalam bentuk lukisan (apalagi patung) Baginda Rasulullah adalah hal yang estoreris. Ini wilayah etika. Bisa juga ranah estetika jika berkaitan dengan sublimasi kerinduan kepada Baginda Rasulullah. Apakah Islam melarang seni berekspresi dan ekspresi berkesenian yang berkaitan dengan kerinduan dan kecintaan terhadap Baginda Rasulullah? Tentu tidak, Ferguso, tentu tidak. Umat Islam masih bisa membaluri hatinya dengan cinta yang ekspresif. Antara lain, seni suara, kaligrafi, arsitektur, dan untaian syair-syair. Ini hanya serpihan bahasan. Banyak buku yang melakukan pendekatan simpatik dan historis terhadap tema kesenian dalam Islam ini. Silahkan cari dan baca!
Sebagai wong ndesoyang dididik dalam kultur muslim tradisional, saya menikmati betul ekspresi kerinduan kepada Baginda Nabi melalui musik dan seni tarik suara. Saya selalu menikmati madah Rasul yang disenandungkan dengan dua cara. Cara pertama, ungkapan “mahabbah/kecintaan” kepada Baginda Rasulullah yang disenandungkan dengan rancak melalui grup rebana al-Banjari, pola hymne-ritmik dalam pembacaan Kitab Maulid (al-Barzanji, ad-Diba’i, Simtud Duror dan Ad-Dhiyaul Lami’). Cara kedua, ekspresi “Kerinduan Kepada Baginda Rasulullah” dalam pola suara bariton yang mengiringi gerak tari rodat jamaah Ikatan Seni Hadrah Indonesia (ISHARI) di bawah naungan NU.
Bagi saya, ini sudah cukup melampiaskan kecintaan dan kerinduan kepada Baginda Rasulullah, tanpa perlu menggugat sana-sini untuk menghadirkan dalil “kebolehan” memvisualisasikan wajah dan fisik Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam
Di akhir tulisan, izinkan saya mengutip melodi indah yang dilagukan oleh musisi India, Adnan Sami dengan pola Qawwali, sebuah bentuk dari musik devosional kaum sufi.
Adnan Sami, musisi bertubuh tambun yang setelah sukses berdiet malah mirip Robert Downey Jr, menyenandungkannya dengan penuh penghayatan dalam sebuah adegan di film bagus, Bajrangi Bhaijaan (2015).
Bajrangi alias Pawan Kumar yang Hindu (diperankan oleh Salman Khan) mengantar bocah cilik Munni/Shahidah yang muslim (diperankan dengan mengesankan oleh Harshaali Malhotra), ziarah ke makam Maulana Zainuddin, wali agung yang makamnya ada di bukit indah di Kashmir. Saat itulah, Adnan Sami menyenandungkan lirik indah gubahan Kausar Munir. Syair ekspresif kecintaan, kerinduan, dan harapan kepada Baginda Rasulullah.
Lagu ini berjudul “Bhar Do Jholi Meri Ya Muhammad”. Artinya, Kumohon restumu, Duhai nabi Muhammad, yang sudah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia oleh Mas Ackiel Khan dan Mas Fauzi/Uziek. Indah banget, syair yang disenandungkan ini. Mempesona!
Tere Darbaar Mein Dil Thaam Ke Woh Aata Hai
-Mereka datangi pintu gerbangmu dengan tangan menengadah
Jisko Tu Chaahe Hey Nabi Tu Bhulata Hai
-Dengan menyebut nama Nabi kekasih hatimu
Tere Dar Pe Sar Jhukaaye Main Bhi Aaya Hoon
-Akupun datang ke pintu mu dengan wajah tertunduk
Jiski Bigdi Haye Nabi Chaahe Tu Banata Hai
-Karena engkaulah yang mampu mengubah nasib hambamu yang hina ini
Bhar Do Jholi Meri Ya Mohammad
-Kumohon restumu, Ya nabi Muhammad
Lautkar Main Naa Jaunga Khali.. (4x)
-Aku takkan kembali dengan tangan hampa
Band Deedon Mein Bhar Daale Aansu
-Mataku basah dengan air mata
Sil Diye Maine Dardo Ko Dil Mein (X2)
-Di hatiku penuh dengan derita
Jab Talak Tu Bana De Na Tu Bigdi
-Sampai kau merubah nasibku yang rusak
Dar Se Tere Na Jaaye Sawaali
-Aku tidak akan meninggalkan pintumu
Bhar Do Jholi Meri Ya Mohammad
-Kumohon restumu, Ya nabi Muhammad
Lautkar Main Naa Jaunga Khali.. (2x)
-Aku takkan kembali dengan tangan hampa
Khaali..
-Hampa
Bhar Do Jholi.. Aaka Ji
-Penuhi harapanku.. Ya tuhan
Bhar Do Jholi.. Hum Sab Ki
-Penuhi harapanku.. pujaan semua orang
Bhar Do Jholi.. Nabi Ji
-Penuhi harapanku.. wahai Nabi
Bhar Do Jholi Meri Sarkar E Medina
-Penuhi harapanku wahai yang terpuji
Lautkar Main Naa Jaunga Khaali
-Aku tak mau kembali dengan tangan hampa
Khojte Khojte Tujhko Dekho
-Lihatlah kondisiku..
Kya Se Kya Ya Nabi Ho Gaya Hoon..(2x)
-Saat mencarimu, wahai Ya Nabi
Bekhabar Darbadar Phir Raha Hoon
-Tanpa sadar, aku berkelana dari pintu ke pintu
Main Yahan Se Wahan Ho Gaya Hoon..(2x)
-Tanpa alasan, aku berkelana di sana kemari
De De Ya Nabi Mere Dil Ko Dilasa
-Hibur hatiku wahai Nabi
Aaya Hoon Door Se Main Hoke Ruhasa..(2x)
-Aku datang dari jauh, pebuh harapan
Kar De Karam Nabi Mujhpe Bhi Zara Sa
-Berikan sedikit anugerahmu pada hamba
Jab Talak Tu..
-Hingga kau..
Jab Talak Tu..
-Hingga kau…
Panaah De Na Dil Ki
-Menjawab doaku
Dar Se Tere Na Jaaye Sawaali
-Aku takkan tinggalkan tempat sucimu
Bhar Do Jholi Meri Ya Mohammad
-Kumohon restumu, Ya nabi Muhammad
Lautkar Main Naa Jaunga Khali..
-Aku takkan kembali dengan tangan hampa
Bhar Do Jholi Meri Sarkar E Medina
-Penuhi harapanku wahai yang terpuji
Lautkar Main Naa Jaunga Khaali
-Aku tak mau kembali dengan tangan hampa
Bhar Do Jholi Meri Ya Mohammad
-Kumohon restumu, Ya nabi Muhammad
Lautkar Main Naa Jaunga Khali..
-Aku takkan kembali dengan tangan hampa
Jaanta Hai Na Tu Kya Hai Dil Mein Mere
-Engkau tau maksud hatiku kemari
Bin Sune Gin Raha Hai Na Tu Dhadkane.. (2x)
-Engkau mampu mendengar bisik hatiku
Aah Nikhli Hai Toh Chand Thak Jayegi
-Semoga hembusan doaku mencapai langit
Tere Taaron Se Meri Duaa Aayegi..(2x)
-Dan bintangpun akan berdoa untukku
Aye Nabi Han Kabhi Toh Subah Aayegi
-Ya Nabi, pagi pasti akan menjelang
Jab Talak Tu Sunega Na Dil Ki
-Hingga engkau mendengar setiap doaku
Dar Se Tere Na Jaaye Sawali
-Aku takkan meninggalkan tempat sucimu
Bhar Do Jholi Meri Ya Mohammad
-Kumohon restumu, Ya nabi Muhammad
Lautkar Main Naa Jaunga Khali..
-Aku takkan kembali dengan tangan hampa
De Taras Kha Taras Mujhpe Aaka
-Kasihanilah aku, ya Tuhan!
Ab Laga Le Tu Mujhko Bhi Dil Se (2x)
-Rangkullah aku ke hatimu sekarang
Jab Talak Tu Bana De Na Tu Bigdi
-Sampai kau merubah nasibku yang rusak
Dar Se Tere Na Jaaye Sawaali
-Aku tidak akan meninggalkan pintumu
Bhar Do Jholi Meri Ya Mohammad
-Kumohon restumu, Ya nabi Muhammad
Lautkar Main Naa Jaunga Khali..
-Aku takkan kembali dengan tangan hampa
Bhar Do Jholi.. Aaka Ji
-Penuhi harapanku.. Ya tuhan
Bhar Do Jholi.. Hum Sab Ki
-Penuhi harapanku.. pujaan semua orang
Bhar Do Jholi.. Nabi Ji
-Penuhi harapanku.. wahai Nabi
Bhar Do Jholi Meri Sarkar E Medina
-Penuhi harapanku wahai yang terpuji
Lautkar Main Naa Jaunga Khaali
-Aku tak mau kembali dengan tangan hampa