Edit Content

Jejak Ilmu dari Gaza: Manuskrip Hukum Islam Abad ke-15 Warisan Ibn al-Saʻati

Manuskrip kuno adalah saksi bisu perjalanan ilmu pengetahuan manusia. Di antara ribuan manuskrip Islam yang masih tersisa, terdapat sebuah naskah penting dari Gaza pada masa Mamluk, yaitu Manuscript AI 13 dari UCLA Library Aintabi Manuscript Collection. Naskah ini merupakan komentar hukum atas kitab Majmaʻ al-Bahrayn wa-Multaqa al-Nayyirayn. Kitab tersebut ditulis oleh seorang ulama besar Baghdad, Muzaffar al-Din Ahmad Ibn al-Saʻati. Kehadiran naskah ini membuktikan bahwa Gaza bukan hanya persimpangan perdagangan, melainkan juga pusat intelektual.

Ibn al-Saʻati, sang penulis asli kitab hukum, hidup pada abad ke-13. Namanya berarti “anak pembuat jam,” merujuk pada profesi ayahnya yang berasal dari Baalbek, Lebanon. Ia mengajar di Madrasah Mustansiriyah, salah satu lembaga pendidikan Islam paling bergengsi di Baghdad. Karyanya, Majmaʻ al-Bahrayn, menjadi rujukan penting dalam mazhab Hanafi. Kitab ini bukan hanya kumpulan hukum, tetapi juga jembatan antara ilmu fikih dan praktik sosial pada zamannya.

Manuskrip AI 13 bukanlah karya tangan Ibn al-Saʻati langsung, melainkan salinan komentar atas kitab tersebut. Penyalinnya adalah Muhammad ibn Musa ibn ‘Imran al-Ghazzi al-Muqri al-Hanafi, seorang ulama asal Gaza. Ia dikenal sebagai pengajar ilmu-ilmu al-Qur’an di Gaza, Yerusalem, dan Kairo. Naskah ini ditulis pada tahun 831 H/1427 M, saat Gaza berada di bawah kekuasaan Mamluk.

Dalam kolofon naskah, tertulis dengan jelas bahwa penyalinan selesai pada hari Kamis, 20 Rabi’ al-Awwal 831 H. Kolofon itu tidak hanya menandai waktu, tetapi juga memperlihatkan kerendahan hati sang penyalin. Ia memohon ampunan bagi dirinya, orang tuanya, gurunya, serta semua muslim yang berdoa baginya. Doa itu memperlihatkan dimensi spiritual dalam aktivitas intelektual Islam. Menyalin kitab bukan sekadar pekerjaan teknis, melainkan juga ibadah.

Salah satu ciri menarik dari naskah ini adalah iluminasi pada halaman judulnya. Warna emas, biru, dan putih digunakan untuk memperindah bagian awal. Seni iluminasi ini menunjukkan perpaduan antara estetika dan ilmu pengetahuan. Sebuah kitab hukum tidak hanya berisi teks kering, tetapi juga keindahan visual yang mencerminkan penghormatan kepada ilmu. Dengan demikian, manuskrip menjadi artefak budaya yang kaya makna.

Naskah AI 13 merupakan bagian dari tiga jilid, di mana jilid ketiga inilah yang tersimpan dalam koleksi UCLA. Koleksi Aintabi sendiri terdiri dari sekitar 200 manuskrip, yang dikumpulkan oleh Sami Assaad Aintabi, seorang pedagang buku dari Aleppo. Koleksi ini dibeli UCLA pada tahun 1964. Dengan demikian, naskah Gaza kini menjadi bagian dari khazanah global. Perjalanan dari Gaza ke Los Angeles menunjukkan lintasan panjang ilmu pengetahuan.

Bagi para ulama, komentar (sharh) atas kitab hukum bukan sekadar pengulangan. Komentar adalah cara untuk menjelaskan, mengkritik, dan mengembangkan pemikiran sebelumnya. Dalam naskah ini, perdebatan antar-mazhab hukum Islam dijelaskan secara detail. Muhammad ibn Musa al-Ghazzi tidak hanya menyalin, tetapi juga terlibat dalam tradisi intelektual yang dinamis. Ia menjadi penghubung antara pemikiran Baghdad dan realitas Palestina abad ke-15.

Sebagian sarjana abad ke-20 pernah menganggap tradisi komentar sebagai tanda kemunduran intelektual Islam. Mereka menilai bahwa ulama hanya mengulang tanpa berinovasi. Namun, penelitian terbaru membantah pandangan itu. Tradisi komentar justru memperlihatkan kontinuitas, inovasi, dan adaptasi ilmu dalam konteks baru. Naskah Gaza ini menjadi contoh nyata bagaimana komentar berfungsi sebagai ruang kreativitas akademik.

Mazhab Hanafi, yang menjadi latar belakang naskah ini, adalah salah satu mazhab hukum Islam terbesar. Dalam konteks Mamluk, perdebatan antar-mazhab kerap muncul dalam praktik hukum dan sosial. Kehadiran komentar Ibn al-Saʻati dan penyalinan oleh al-Ghazzi menunjukkan kebutuhan untuk menjelaskan perbedaan pandangan tersebut. Dengan demikian, manuskrip ini berfungsi sebagai panduan praktis bagi murid-murid hukum Islam. Ia bukan hanya teks akademik, tetapi juga panduan hidup sehari-hari.

Penyalinan naskah pada masa itu bukan hal mudah. Prosesnya memakan waktu panjang, ketelitian tinggi, dan biaya besar. Setiap halaman ditulis dengan tinta berkualitas dan kertas impor. Iluminasi dengan emas dan warna-warna langka menunjukkan nilai istimewa kitab tersebut. Hal ini memperlihatkan bahwa ilmu dihargai setara dengan karya seni.

Selain sebagai dokumen hukum, naskah Gaza ini juga adalah artefak sejarah. Ia mencatat bahwa Gaza pada abad ke-15 adalah kota yang terlindungi (al-Mahrusah), menandakan pentingnya posisi kota tersebut. Gaza bukan hanya wilayah perang dan perdagangan, tetapi juga pusat ilmu pengetahuan. Naskah ini mengingatkan kita bahwa Gaza juga aktif berkontribusi. Dengan begitu, sejarah intelektual Islam jauh lebih luas daripada pusat-pusat besar seperti Baghdad atau Kairo.

Manuskrip ini juga memberikan wawasan tentang jaringan ulama. Al-Ghazzi mengajar di Gaza, Yerusalem, dan Kairo, membuktikan adanya pertukaran intelektual di dunia Islam. Mobilitas ulama ini menjadikan ilmu sebagai mata rantai yang menyambungkan kota-kota besar. Dengan demikian, sebuah naskah dari Gaza dapat memengaruhi murid di Kairo atau Yerusalem. Ilmu bergerak, menyeberangi batas politik dan geografis.

Koleksi manuskrip seperti AI 13 sangat penting bagi dunia akademik modern. Melalui naskah ini, kita dapat meneliti perkembangan hukum Islam, sejarah sosial Gaza, dan estetika seni Islam. Digitalisasi oleh perpustakaan UCLA membuka akses bagi peneliti di seluruh dunia. Manuskrip yang dulunya hanya bisa dilihat oleh segelintir orang kini dapat dipelajari luas. Dengan cara ini, ilmu dari abad ke-15 tetap hidup di abad ke-21.

Lebih jauh, manuskrip Gaza menunjukkan bahwa ilmu bukan milik satu bangsa atau zaman. Ia melintasi waktu, tempat, dan bahasa. Apa yang ditulis di Baghdad, dikomentari di Gaza, kini dibaca di Los Angeles. Perjalanan ini membuktikan sifat universal pengetahuan. Manuskrip bukan hanya benda mati, tetapi jembatan peradaban.

Akhirnya, naskah hukum dari Gaza ini mengajarkan tentang kesinambungan tradisi. Dari Ibn al-Saʻati di Baghdad, ke al-Ghazzi di Gaza, hingga para peneliti modern, ada mata rantai yang tak terputus. Manuskrip menjadi pengikat lintas generasi. Ia menyampaikan pesan bahwa ilmu harus dijaga, diwariskan, dan terus dikembangkan. Dengan demikian, Gaza abad ke-15 tetap berbicara kepada dunia hari ini.

 

 

 

 

 

 

Referensi

UCLA Library, Aintabi Manuscript Collection (LSC-0833-0013 & LSC-0833-0014).

Makdisi, G. (1981). The Rise of Colleges: Institutions of Learning in Islam and the West. Edinburgh University Press.

Berkey, J. (1992). The Transmission of Knowledge in Medieval Cairo: A Social History of Islamic Education. Princeton University Press.

Hallaq, W. B. (2009). An Introduction to Islamic Law. Cambridge University Press.

Jonathan Bloom & Sheila Blair. (2003). Islam: A Thousand Years of Faith and Power. Yale University Press.

Tag :

Share:

Facebook
Twitter
Email
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Social Media

Popular Post

Get The Latest Updates

Subscribe To Our Weekly Newsletter

No spam, notifications only about new products, updates.
Kategori
On Key

Related Posts