Inilah
kitab Mukhtasar al-Marqum Fi Bayani Ba’dil Ahwalil Ma’lum (Kodeks Lor. 7033a)
yang ditulis di atas kertas daluang tua.
Sekitar
tahun 1630, Pangeran Ratu Ing Banten mengirim utusan untuk berangkat ke Makkah, salah satu utusan itu disebut
Santri Betot. Keberangkatannya ke Makkah bermaksud meminta gelar
“Sultan” kepada Syarif Makkah. Setelah kembalinya dari Makkah, sang
utusan membawa beberapa oleh-oleh penting antara lain: kain kiswah Ka’bah, baju
pusaka warisan Nabi Ibrahim, versi lain bendera (koreksi jika keliru), gelar
Sultan & beberapa lainnya termasuk
Kitab Marqum, Muntahi, dll). Sejak mendapat gelar “sultan”
itulah Pangeran Ratu Ing Banten dikenal dengan sebutan Sultan Abul Mafakir
Muhammad Abdul Kadir.
Dalam
serat Centhini, Kitab
Marqum merupakan kitab yang sudah
dibaca di sebuah pesantren di Jawa pada abad ke 17. Naskah ini bercerita
terkait sanad keilmuan Syekh Muhyiddin Ibnu Arabi yg turun-temurun sampai ke
Sunan Gunung Jati melalui jalur Syekh Zakariya al-Anshari, murid Ibnu Hajar
al-Asyqalani sekaligus guru Ibnu Hajar al-Haitami. Ibnu Arabi memiliki karya yg
monumental, Futuhal al-Makky. Kitab ini yg membahas 9 tingkatan wali
dari wali kutub, wali autad, wali abdal, hingga wali rojabiyyun. Sembilan
jumlah tingkatan wali inilah yg menjadi salah satu alasan sebutan Wali Songo
selain inspirasi dalam konsep “Nawa Dewata” Majapahit (Agus Sunyoto,
Atlas Wali Songo)
Kitab
ini menyebar ke Cirebon-Banten lalu ke Karang Tasikmalaya, basis Tarekat
Syattariyah asuhan Syekh Abdul Muhyi Pamijahan & menyebar ke Jawa Timur.
Kitab ini diawali dengan kalimat “Isun amimiti anebut kahot
pangulunging Allah kang murah ing dunya kang asih ing akherat”.
Berikut kira-kira susunan sanad Sunan Gunung Jati ke Ibnu Arobi.
Kanjeng
Sunan Gunung Jati dari Syekh Zakariya al-Anshari dari Abu al-Fadlail Muhammad dari
Jamaludin dari Abu Muhammad Abdullah dari Abu Nasr Muhammad dari Syekh Muhammad
Muhyiddin Ibnu Arobi al-Andalusi (w. 1165).
Yang lebih mencengangkan lagi, dalam paparan Kang Aguk
Irawan, sekitar tahun 2010, ketika haul Sunan Kalijaga yang ke 500, acara
kerjasama antara Lesbumi DIY dengan Lesbumi Pusat. Dalam haul itu, KH Agus Sunyoto, selain
memaparkan sanad keilmuan kanjeng Sunan dengan dua jalur, yaitu jalur dari
Timur Tengah melalui Ibnu Arabi dan Imam Al-Ghazali, serta jalur lokal ke Empu
Prapanca sampai ke Kisan, putra Nabi Ibrahim AS yang beliau yakini peletak
agama tauhid (Brahman/Kapitayan) di Nusantara. Berikut turun-temurun sanadnya.
Sunan
Bonang meminta Sunan Kalijaga untuk
menyalin ulang Kitab Silakrama Kamandalaan Majapahit yang ditulis oleh Empu Prapanca. Oleh Sunan Kalijaga
disalin, jadilah kitab Serat Dewa Ruci, lalu turun ke Sunan Bayat jadilah Kitab
Nitibrata, turun ke Ki Ageng Donopuyo jadilah kitab Swakawiku, lalu turun ke
Kiai Kasan Besari jadilah kitab Krama Negara, lalu turun ke Kiai Anggamaya
jadilah kitab Dharmasunya, lalu turun ke Kiai Yosodipuro jadilah Kitab Sana
Sunu, lalu turun ke Kiai Ketiban Anom jadilah Kitab Wulang Semahan, lalu turun
ke Kiai Saleh Asnawi jadilah Kitab Dasasila, lalu turun ke Kiai Soleh Darat
Semarang jadilah Kitab Lathaifu at-Taharah. Kitab ini lalu diajarkan ke
Sosro Kartono, kakak R.A. Kartini dan diajarkan pula ke Hadratusyekh KH. Hasyim Asyari. Mbah Hasyim punya murid Mbah Wahab,
Mbah Abdul Karim Lirboyo, Mbah Abbas Buntet Pesantren Cirebon, Kh. Syatori
Arjawinangun Cirebon, Kiai Solihin Babakan Ciwaringin, Kiai Asnawi Kudus, Kiai,
Dahlan Kudus, Kiai Bisri Syansuri, Kiai Ahmad Dimyati Bandung, Kiai Abubakar
Yusuf Karawang, Kiai Mamun Nawawi & ulama lainnya.
Penulis: Farihin Niskala (Lesbumi PCNU Kota Cirebon)
Sumber: Generasi Muda NU