Edit Content

Lintasan Birokrasi dan Intelektual Mirza Makhdum di Negeri Ottoman  

Sejarah peradaban Islam sering kali dihiasi oleh tokoh-tokoh yang hidup di antara batas-batas kekuasaan politik, mazhab keagamaan, dan ambisi pribadi. Salah satu tokoh yang menarik untuk ditelisik dalam konteks ini adalah Mirza Makhdum Sharifi Shirazi. Lahir di Iran pada tahun 1540, Mirza Makhdum merupakan seorang birokrat tinggi dari mazhab Syiah Dua Belas (Itsna Asyariyah) dalam kekaisaran Safawi. Namun jalan hidupnya berbelok tajam ketika ia memutuskan untuk berpindah haluan ke wilayah Ottoman dan memeluk Sunni. Keputusan ini tidak hanya bermakna spiritual, tetapi juga membuka jalur karier baru yang menarik dalam sistem keilmuan (ilmiye) Ottoman.

Ilmiye adalah struktur birokrasi religius dalam kekhalifahan Utsmani yang mengatur pendidikan, pengadilan, dan otoritas keagamaan. Memasuki sistem ini bukan perkara mudah, terlebih bagi pendatang dari luar yang sebelumnya memiliki afiliasi dengan musuh ideologis dan politis kekaisaran Ottoman seperti Safawi. Namun Mirza Makhdum menunjukkan bahwa bahkan dalam sistem yang tertutup, ruang mobilitas tetap terbuka bagi mereka yang mampu menavigasi kompleksitas ideologis dan institusional. Artikel Ghereghlou menggambarkan bagaimana Mirza Makhdum menggunakan kecakapan intelektual dan strategi sosial untuk meniti tangga hierarki keilmuan Ottoman.

Perjalanan Mirza Makhdum dimulai dari pelariannya ke wilayah Ottoman, sebuah tindakan yang sarat risiko. Ia meninggalkan tanah kelahirannya, warisan akademiknya di Safawi, dan beralih ke lingkungan yang sama sekali berbeda. Di Ottoman, ia harus beradaptasi tidak hanya dengan sistem administrasi yang baru, tetapi juga dengan mazhab yang dulu mungkin dianggapnya sebagai oposisi. Konversinya ke Sunni bukan hanya simbolik, tetapi juga fungsional, karena menjadi kunci untuk diterima dalam birokrasi religius Ottoman.

Setelah konversi, Mirza Makhdum memulai kariernya sebagai qadi atau hakim di beberapa kota penting di bawah kekuasaan Ottoman. Ia menjabat di Diyarbakir, Bilad al-Sham (Suriah), Baghdad, hingga kota-kota suci seperti Mekah dan Madinah. Penempatan-penempatan ini menunjukkan bahwa ia tidak hanya diterima, tetapi juga dipercaya untuk mengemban tanggung jawab hukum di wilayah-wilayah yang strategis dan sensitif. Ini juga mengindikasikan betapa sistem ilmiye memberikan peluang mobilitas horizontal yang cukup luas.

Namun di balik kemajuan itu, ada batas-batas yang tetap dijaga oleh sistem. Ghereghlou menekankan bahwa walaupun ilmiye memberikan ruang bagi orang seperti Mirza Makhdum, struktur ideologis dan hierarki institusional Ottoman tidak sepenuhnya cair. Mirza Makhdum tidak pernah benar-benar mencapai posisi puncak dalam sistem ilmiye. Ia tetap berada dalam lapisan tengah birokrasi religius, menunjukkan adanya batasan-batasan tertentu bagi individu dari luar lingkaran internal Ottoman.

Dalam artikelnya, Ghereghlou mengajukan pendekatan “horizontality” dalam menilai karier Mirza Makhdum. Alih-alih menilai kesuksesan hanya dari pencapaian vertikal—yaitu seberapa tinggi jabatan seseorang—pendekatan ini juga memperhatikan variasi pengalaman, penempatan geografis, dan adaptasi intelektual sebagai bentuk kemajuan profesional. Dalam konteks Mirza Makhdum, pendekatan ini membuka perspektif baru tentang bagaimana mobilitas sosial-birokratis bekerja di dunia Islam abad ke-16.

Kontribusi Mirza Makhdum juga bisa dilihat dalam konteks transfer keilmuan lintas batas. Sebagai seorang intelektual Safawi yang kemudian aktif dalam sistem Ottoman, ia membawa serta warisan keilmuan Persia ke dalam dunia Sunni Ottoman. Meski secara ideologis berseberangan, kenyataannya ilmu pengetahuan tetap menjadi jembatan yang memungkinkan dialog dan bahkan asimilasi. Ini menunjukkan betapa dinamisnya pertukaran pengetahuan dalam sejarah Islam klasik.

Perjalanan hidup Mirza Makhdum menjadi cerminan dari realitas dunia Islam saat itu: penuh dinamika, persaingan antarmazhab, dan strategi survival yang melibatkan transformasi identitas. Namun ia bukan satu-satunya. Banyak birokrat, ulama, dan ilmuwan dari wilayah Persia, Asia Tengah, maupun India yang mencoba peruntungan di Ottoman karena daya tarik sistem dan peluang yang ditawarkan. Ottoman menjadi semacam pusat gravitasi bagi mobilitas ilmiah dan administratif dunia Islam.

Yang menarik, Mirza Makhdum tidak hanya menjabat sebagai hakim, tetapi juga menghasilkan karya-karya tulis yang memperkuat posisinya sebagai intelektual. Ini menunjukkan bahwa ia tidak hanya beradaptasi secara praktis, tetapi juga ideologis dan intelektual. Ia menulis untuk menunjukkan pemahamannya atas Sunni dan komitmennya terhadap sistem yang mengangkatnya. Tulisan-tulisan ini juga menjadi bukti jejak intelektualnya yang melintasi batas mazhab dan wilayah.

Esai Ghereghlou membuka wawasan baru bahwa sejarah tidak hanya milik para sultan dan jenderal, tetapi juga para birokrat dan ilmuwan yang bekerja di balik layar. Sosok seperti Mirza Makhdum memberikan warna dan kedalaman dalam memahami bagaimana sistem kekuasaan dan keilmuan dijalankan. Mereka adalah agen perubahan yang memanfaatkan celah-celah dalam struktur untuk membangun karier, bahkan ketika identitas mereka mengalami transformasi besar.

Penting juga untuk dicatat bahwa konversi mazhab bukanlah fenomena langka dalam sejarah Islam. Banyak individu yang berpindah keyakinan mazhab karena alasan politik, sosial, atau pribadi. Namun dalam kasus Mirza Makhdum, konversi itu bukan akhir dari cerita, melainkan awal dari proses panjang untuk membuktikan diri dalam sistem yang baru. Ini adalah kisah tentang identitas, kesetiaan, dan keberanian intelektual dalam menghadapi perubahan zaman.

Studi tentang Mirza Makhdum juga memberikan kita pelajaran penting dalam melihat sejarah secara lebih kritis dan manusiawi. Alih-alih menilai tokoh berdasarkan dikotomi “pengkhianat” atau “pahlawan,” kita diajak memahami kompleksitas pilihan hidup dalam konteks yang penuh tekanan dan ketidakpastian. Dalam dunia yang diatur oleh kekuasaan dan dogma, ada ruang bagi fleksibilitas dan strategi individu.

Dengan mendigitalkan dan membuka akses atas artikel seperti ini, upaya akademis kontemporer memperluas jangkauan pengetahuan sejarah Islam yang selama ini tersembunyi dalam arsip atau bahasa asing. Akses terbuka seperti ini memberi kesempatan bagi publik—termasuk peneliti dan pelajar di dunia Muslim—untuk menggali lebih dalam tentang tokoh-tokoh seperti Mirza Makhdum yang memainkan peran penting namun sering terlupakan.

Kisah Mirza Makhdum bukan sekadar kisah individu, tetapi potret zaman. Ia menunjukkan bagaimana batas-batas identitas bisa bergeser demi cita-cita hidup yang lebih besar. Ia juga memperlihatkan bagaimana kekuasaan, ilmu, dan agama saling bersinggungan dalam membentuk jalan hidup seseorang. Dalam dunia yang penuh sekat dan hierarki, ia menempuh jalan sendiri yang menginspirasi refleksi lebih dalam.

Akhirnya, kisah Mirza Makhdum Sharifi Shirazi mengingatkan kita bahwa sejarah bukan hanya milik mereka yang lahir dalam sistem, tetapi juga milik mereka yang berhasil menembusnya. Ia adalah simbol dari mobilitas sosial dalam dunia Islam klasik—mobilitas yang tidak selalu vertikal, tetapi tetap berarti. Dengan membaca ulang kisah-kisah seperti ini, kita diajak untuk lebih menghargai keragaman pengalaman dan strategi kehidupan dalam lintasan sejarah umat Islam.

 

 

 

 

 

Sumber: Columbia University Libraries

Share:

Facebook
Twitter
Email
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Social Media

Popular Post

Get The Latest Updates

Subscribe To Our Weekly Newsletter

No spam, notifications only about new products, updates.
Kategori
On Key

Related Posts