Dunia kini dikejutkan dengan pandemi virus Corona yang melanda, tak terkecuali di negeri yang kita cintai, Indonesia. Upaya pencegahan penyebaran virus yang dikenal sebagai COVID-19 ini banyak menghadapi hambatan, sebagian akibat rendahnya pemahaman masyarakat atas bahaya penularan wabah yang menimpa, malah ada yang menghadap-hadapkannya dengan narasi agama.
Jaga jarak fisik, atau physical distancing, bagi sebagian masih dianggap sebagai anjuran atau himbauan belaka yang tidak wajib dipatuhi. Mengapa sebagian kita tidak memiliki memori kolektif yang baik tentang wabah sebagai bencana? Seberapa sering pandemik melanda umat manusia? bagaimana masyarakat masa lalu menyikapinya? Apa yang tertulis dalam manuskrip Arab dan Nusantara tentang wabah pandemi, yang dikenal dengan nama tha’un dan waba’ itu?
Status pandemic bukan hal baru dalam sejarah umat manusia, sudah berulang kali situasi tersebut ada. Michael W. Dols dalam Plague in Early Islamic History, mengulas tiga pandemic besar yang menimpa umat manusia, yaitu: Wabah Yustinianus (Plague of Justinian) 541-542 M, Maut Hitam (Black Death)1347 – 1351 M dan Wabah Bombay (Bombay Plague)1896 – 1897 M.
Sumber-sumber Arab sesungguhnya telah mencatat dengan baik bagaimana Nabi Muhammad SAW dan para sahabat menyikapi pandemic. Sebagaimana Umar bin Khattab yang kembali ke Madinah dan membatalkan kunjungannya ke Damaskus yang sedang diserang wabah. Nabi dan orang-orang suci tidak kemudian menantang wabah atas nama tauhid atau bersikap sembrono atas kebodohan ‘hanya takut pada Allah’.
Ibnu Hajar al-‘Asqalani menulis kitab Badzl al-Ma’un fi Fadhl al-Tha’un. Ia menjauhi sikap pasrah dan menyerah pada takdir Allah. Memperlakukan pandemic sebagai inspirasi dan menuangkan pandangan keber-agama-annya dalam bersikap secara rasional dalam menghadapi wabah. Karya tersebut dipersembahkan untuk mengingatkan sesama tentang wabah yang mematikan. Sekaligus tidak ingin kematian ketiga putrinya sia-sia, Fatimah, Aliyah dan Zin Khatun yang sedang hamil. Mereka menjadi martir bagi nyawa manusia lainnya.
Karya al-‘Asqalani ini telah ditahqiqoleh seorang filolog bernama Ahmad Ishom Abd al-Qadir al-Katib. Ia mengulas detil tentang definisi tha’un(wabah) termasuk Black Death di Eropa, baik secara metafisis maupun medis, jenis-jenisnya, cara menghindarinya, hukum syahid bagi korban dan yang paling penting bagaimana beragama tanpa mengabaikan kemanusiaan dalam menyikapi wabah.
Kitab ini terdiri dari lima bab; pertama menerangkan awal mula wabah Thaun, kedua menerangkan definisi Thaun, ketiga menerangkan apakah wabah adalah azab atau rahmat, keempat menerangkan tentang bagaimana hukumnya seseorang keluar dari dan masuk dalam zona yang terkena wabah, dan yang terakhir, bab lima, menerangkan apa yang harus dilakukan ketika wabah merebak.
Di bawah ini adalah sekelumit kesimpulan dari apa yang diterangkan oleh al-Imâm al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalânî :
1. Berkumpul untuk berdoa dan beristighotsah di suatu tempat (sebuah lapangan) untuk menolak bala’ ketika terjadinya wabah penyakit (Tha’ûn) sebagaimana praktek Istisqa’ (diawali puasa 3 hari) adalah kegiatan bid’ah.
2. Kegiatan tersebut pertama kali dilakukan pada tahun 764 H, (ketika terjadi wabah Thâ’ûn ganas di Damaskus (Suriah) pada tahun 749. Jadi 15 tahun setelah awal terjadi wabah, barulah mayoritas para pembesar/penguasa dan sebagian ulama berkumpul. Di mana setelah terjadi kumpulan massa untuk berdoa tersebut korban meninggal justru malah lebih banyak yang berjatuhan dibandingkan sebelumnya.
3. Di jaman beliau pada tanggal 27 Rabî’ul Akhir tahun 833 H di Kairo, juga terjadi hal yang sama (pengumpulan massa untuk doa bersama). Pada tanggal 4 Jumâdal Ûlâ masyarakat diperintahkan keluar ke lapangan, sebelumnya dianjurkan puasa 3 hari, lalu shalat dan berdoa. Korban jiwa sebelum acara tsb kurang dari 40 orang. Namun setelahnya malah membengkak lebih dari 1000 lebih nyawa melayang.
4. Sebagian ulama memfatwakan kegiatan tersebut berdasarkan keumuman dalil tentang doa dan menyandarkan kepada (niat baik) Malik/Raja Muayyad. Di mana segolongan ulama juga turut hadir dan mereka semua tidak ada yang mengingkarinya, sehingga kegiatan tersebut dinilai sebagai kegiatan yang baik. Sedangkan sebagian ulama yang lain berpendapat bahwa kegiatan tersebut lebih utama untuk ditinggalkan karena dikhawatirkan terjadinya fitnah. Karena meskipun perkara tersebut dianggap baik akan tetapi tetap tidak lepas dari timbulnya tuduhan yang buruk, terutama kepada para ulama, kaum shalih dan doa itu sendiri.
5. Ibnu Hajar al-Asqolani termasuk ulama yang berpendapat melarang perkumpulan tersebut. Bahkan hal tersebut adalah alasan yang mendorong beliau menyalin kitab Badzlul Mâ’ûn Fî Fadhlith Thâ’ûn setelah mengumpulkan banyak sekali hadis dan kalam para ulama pada tahun 819 H. Sehingga beliau dua kali menolak keluar bersama Malik/Raja Muayyad dalam kegiatan tersebut.
6. Ibnu Hajar melalukan karantina mandiri dengan social distancing dengan menolak keluar rumah (isolasi diri) dengan tidak menghadiri kegiatan yang disponsori Raja Muayyad Billah di Kairo saat itu. Tindakan beliau bahkan lebih maju dari pemikiran era saat ini.
Berbagai permasalahan telah beliau uraikan dalam karya yang sangat berbobot tersebut dengan rinci dan jelas. Dilengkapi dengan berbagai dalil dan hujjah serta pandangan keilmuan yang sangat luas. Dan sebagai catatan terakhir dituturkan bahwa para ulama adalah orang-orang yang telah memperoleh cobaan dari Allah SWT melebihi dari yang lain karena mereka adalah pewaris ilmu para nabi.
Abu al-Hasan al-Mada’ini mengatakan bahwa wabah penyakit tha’un yang masyhur dan paling besar terjadi dalam sejarah Islam ada lima:
1. Tha’un Syirawaih, yang terjadi pada zaman baginda Nabi SAW yakni pada tahun keenam hijriah.
2. Tha’un ‘Amwas, terjadi pada masa kholifah Umar bin al-Khaththab ra, wabah tersebut melanda hingga negeri Syam hingga mengakibatkan 25 ribu orang meninggal dunia.
3. Tha’un yang terjadi pada zaman Ibnu Zubair yaitu pada bulan Syawwal tahun 69 H yang menyebabkan kematian selama tiga hari, yang dalam setiap harinya ada 70 ribu orang meninggal. Hingga diriwayatkan ada sekitar 70 sampai 80 anak dari sahabat Anas bin Malik yang meninggal dunia dan 40 anak dari Abdurrahman bin Abi Bakrah meninggal dunia.
4. Tha’un Fatayat pada Syawwal tahun 87 H. Yang terkena wabah tersebut mayoritas para gadis, sehingga disebut fatayat.
5. Tha’un yang terjadi pada pada tahun 131 H pada bulan Rajab, dan semakin parah pada bulan Ramadhan. Terhitung di perkampungan al-Mirbad dalam setiap harinya terdapat seribu jenazah, kemudian mereda pada bulan Syawalnya.
6. Sementara Tha’un di Kufah terjadi pada tahun 50, di mana al-Mughirah bin Syu’bah meninggal dunia.
Yang menarik bahwa wabah penyakit Tha’un sama sekali tidak pernah berjangkit di Madinah dan Makkah. Wallâhu a’lam.
Download Kitab: http://bit.ly/Kitab-Badzlu-al-Maun-Fi-Fadhli-al-Thaun
Berita Terkait
Dilihat : 88