Edit Content

Panca Tata Gatra dalam Naskah Sanghyang Siksa Kandang Karesian Jabarkan Nilai-Nilai Pancasila

Oleh:
Dr. Elis Suryani Nani Sumarlina, M.S.

Pancasila
merupakan falsafah dan dasar negara Republik Indonesia. Ide, gagasan, serta
kandungan Pancasila berisi kearifan lokal yang digali dari berbagai perspektif
ilmu, termasuk di dalamnya sudut pandang budaya. Salah satu kebudayaan yang
melatarbelakangi Pancasila adalah Sunda.

Menurut
Dosen Departemen Sejarah dan Filologi Fakultas Ilmu Budaya Universitas
Padjadjaran Dr. Elis Suryani Nani Sumarlina, M.S., gagasan butir-butir
Pancasila terungkap lewat sejumlah naskah Sunda abad ke-16 Masehi. Sejumlah naskah
Sunda abad ke-16 M tersebut berjudul Sanghyang Siksakandang Karesian, Amanat
Galunggung, dan Sanghyang Raga Dewata, serta Fragmen Carita Parahiyangan untuk
implementasinya.

“Hal ini
membuktikan bahwa naskah Sunda kuno sebagai dokumen budaya masa lampau, sejalan
dan punya andil dalam menyumbangkan ide, gagasan, dan kebinekaan bangsa
Indonesia. Demikian juga naskah dari suku bangsa lainnya yang ada di
Indonesia,” ungkap Elis dalam keterangan tertulis kepada Kantor Komunikasi
Publik Universitas Padjajaran.

Elis
menjelaskan, salah satu kearifan lokal naskah Sunda yang termaktub dalam nomor
dan urutan sila-sila dalam Pancasila, terungkap lewat naskah Sanghyang
Siksakandang Karesian bagian III. Pada bagian tersebut, data teks sila
Pancasila dapat dijabarkan melalui Panca Tata Gatra.

Tata
Gatra pertama yaitu Sembah Ing Hulun di Sanghyang Panca Tatagatra, artinya lima
sabda kewajiban menyembah Sanghyang Yang Maha Kuasa sebagai pembimbing alam
semesta.

Kedua,
Panca Gati, Jaga Rang Dek Luput Ing Na Pancagati Sangsara, yakni lima keadaan
asali perilaku manusia yang layak dan tidak layak, yang memerlukan timbangan
keadilan dan kebijaksanaan.

Ketiga,
Panca Byapara Kusika, yakni lima selubung alam, yaitu Akasa, Bayu, Téja, Apah,
Pratiwi, atau angkasa, angin, cahaya, air, dan tanah, yang semuanya harus
bersatu.

Keempat,
Panca Putra, yang terdiri atas Kusika, Garga, Mésti, Purusa, Patanjala, atau
lima perwujudan manusia sebagai penjelmaan Pancakusika, berupa mata pencaharian
hidup masyarakat Nusantara, yaitu petani, panyadap (pembuat gula),
pemburu/prajurit, bangsawan, dan raja sebagai pengisi negara.

Kelima,
Tri Tangtu di Bwana/Bumi, Jagat Palangka Di Sang Prabu, Jagat Darana Di Sang
Rama, Jagat Kreta Di Sang Resi (Amanat Galunggung, Rekto III), yang merupakan
tiga pilar berbangsa dan bernegara.

Elis
memaparkan, teks yang berkaitan dengan lima sila Pancasila dalam naskah
Sanghyang Siksakandang Karesian bagian IV, dijabarkan bahwa Kahyangan penghuni
para dewa lokapala (pelindung dunia), disesuaikan dengan kedudukan mata angin
dengan warna masing-masing yang disebut Sanghiyang Wuku Lima Di Bwana, Halimpu
Ikang Désa Kabéh.

Dalam
naskah tersebut dijelaskan lima kemakmuran seluruh negeri yang dijaga, terdiri
dari: Isora yang bertempat di kahyangan sebelah wetan/timur (Purwa), putih
warnanya; Daksina  (kidul) ‘selatan’,
tempat tinggal Hyang Brahma, merah warnanya; 
c. Pasima (kulon) ‘barat’, tempat tinggal Hyang Mahadewa, kuning
warnanya; Utara (kalér ‘utara’) tempat tinggal Hyang Wisnu, hitam warnanya; dan
Madya  (tengah),  tempat Hyang Siwa, aneka macam warnanya.

Sementara
gambaran kosmologis dalam naskah Sanghyang Raga Dewata sejalan dengan gambaran
kosmos filsafat Pancasila. Gambaran ini dapat ditemukan pada keempat sila yang
bersangkutan, dengan dimensi horisontal yaitu mulai dari sila kedua sampai
kelima.

“Manusia
menempati keempat sila horisontal dalam sila Pancasila. Tetapi bersamanya
diasumsikan adanya substansi-substansi infrahuman, yang psikis-sensitif, yang
biotik, dan yang fisiokimis,” jelas Elis.

Dosen
Program Studi Sastra Sunda ini menuturkan, manusia merupakan makhluk individual
sekaligus sosial;  demikian pula secara
lebih universal berlaku bagi segala substansi kosmis di samping manusia.

“Pada
akhirnya, keempat sila (sila ke-2 sampai ke-5) tersebut mengacu pada sila
pertama, yakni sila Ketuhanan Yang Maha Esa. 
Hal ini sejalan pula dengan apa yang digambarkan dalam naskah Sanghyang
Raga Dewata, bahwa segala sesuatu berpusat kepada Sanghyang Tunggal (Tuhan Yang
Mahaesa),” kata Elis.

Implementasi
Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dapat tecermin melaui sistem
pemerintahan Sunda masa lalu. Sistem pemerintah Sunda dikenal dengan istilah
Tri Tangtu di Buana dengan tiga struktur pemerintahan utama, yaitu prabu, rama,
dan resi.

Dijabarkan
Elis, prabu bertindak selaku eksekutif (presiden) yang harus ngagurat batu atau
teguh/kukuh, taat, dan patuh dalam menjalankan hukum. Rama, merupakan golongan
yang dituakan sebagai wakil rakyat (legislatif) yang harus ngagurat lemah atau
berwatak menentukan hal mesti dipijak. Sikap ini juga mesti tecermin pada
keluarganya dan tokoh masyarakat.

Sementara
resi sebagai penyelenggara hukum, agama, dan darigama negara
(yudikatif/mahkamah agung). Golongan merupakan para cerdik, cendekia, ulama,
pendidik, hingga orang-orang yang mampu mencerdaskan bangsa.

Sistem
pemerintahan seperti ini masih dapat dijumpai di berbagai entitas masyarakat
adat Sunda, seperti di masyarakat adat Kanekes. Sementara sistem “Tri Tangtu
di Bumi
” masih berlaku di masyarakat adat Kampung Naga yang meliputi tata
wilayah (wilayah), tata wayah (waktu), dan tata polah (tingkah laku), yang
dipegang oleh Kuncén, Lebé,  dan  Punduh. Download Ebook Siksa Kandang Karesian

 

 

 

 

Sumber:
Universitas Padjajaran

Tag :

Share:

Facebook
Twitter
Email
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Social Media

Popular Post

Get The Latest Updates

Subscribe To Our Weekly Newsletter

No spam, notifications only about new products, updates.
Kategori
On Key

Related Posts