Desa Modapia merupakan salah satu desa di kawasan wilayah transmigrasi Mangoli yang hingga kini belum menikmati layanan listrik negara. Akses infrastruktur dasar seperti jaringan listrik masih terbatas, meski kebutuhan masyarakat semakin meningkat. Kondisi ini membuat warga harus mencari alternatif agar kehidupan sehari-hari tetap berjalan. Salah satu solusi yang paling banyak dipilih adalah penggunaan genset. Alat ini menjadi penyambung hidup energi di tengah ketiadaan listrik negara.
Genset di Desa Modapia bukan hanya digunakan untuk kebutuhan rumah tangga, tetapi juga menopang aktivitas ekonomi warga. Usaha kecil seperti warung, bengkel, dan tempat penggilingan padi sangat bergantung pada mesin ini. Tanpa genset, kegiatan produksi dan pelayanan akan terhenti. Namun, biaya operasional genset yang tinggi seringkali menjadi beban berat bagi masyarakat. Hal ini menimbulkan ketimpangan antara kebutuhan energi dan kemampuan finansial warga.
Penggunaan genset memerlukan bahan bakar minyak yang pasokannya tidak selalu stabil di desa terpencil. Ketika harga BBM naik, warga Modapia ikut merasakan dampaknya secara langsung. Setiap liter bahan bakar sangat berharga dan memengaruhi jumlah jam nyala genset. Rata-rata, genset hanya dinyalakan pada malam hari untuk kebutuhan penerangan dan aktivitas terbatas. Keterbatasan ini membuat warga harus pintar mengatur jadwal penggunaan listrik.
Keterbatasan akses listrik juga memengaruhi kualitas pendidikan di Desa Modapia. Siswa hanya bisa belajar dengan cahaya lampu genset yang waktunya dibatasi. Guru pun mengalami kesulitan dalam memanfaatkan media digital sebagai sarana pembelajaran. Minimnya listrik membuat sekolah sulit menggunakan komputer atau perangkat multimedia.
Selain pendidikan, layanan kesehatan juga terdampak akibat ketiadaan listrik negara. Puskesmas pembantu tidak memiliki aliran listrik stabil untuk mengoperasikan peralatan medis sederhana. Dalam keadaan darurat, perawat harus mengandalkan lampu minyak atau genset kecil. Situasi ini tentu berisiko terhadap keselamatan pasien. Dengan kata lain, krisis listrik di Desa Modapia juga berimbas pada kualitas kesehatan masyarakat.
Dalam konteks sosial-ekonomi, ketidakmerataan akses listrik mencerminkan adanya kesenjangan pembangunan. Desa Modapia menjadi simbol bagaimana wilayah terpencil kerap terabaikan oleh program elektrifikasi nasional. Padahal, listrik merupakan kebutuhan dasar yang mendukung pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan. Tanpa listrik, warga sulit mengembangkan usaha kreatif atau memanfaatkan teknologi. Kondisi ini berpotensi memperlebar jurang ketidaksetaraan antarwilayah.
Upaya warga Desa Modapia dalam mengatasi keterbatasan energi menunjukkan daya juang yang luar biasa. Mereka seringkali melakukan gotong royong untuk membeli bahan bakar bersama. Pola solidaritas sosial ini menjadi modal penting dalam bertahan hidup. Namun, hal ini tidak bisa dijadikan solusi jangka panjang. Sebenarnya, alternatif energi terbarukan bisa menjadi solusi untuk Desa Modapia. Panel surya, misalnya, sangat potensial mengingat intensitas cahaya matahari di kawasan tersebut tinggi sepanjang tahun. Sayangnya, harga perangkat masih tergolong mahal. Dukungan pemerintah dan pihak swasta sangat diperlukan agar energi terbarukan dapat diakses lebih luas.
Menurut data Kementerian ESDM, program listrik desa masih memiliki tantangan besar di kawasan kepulauan dan wilayah terpencil (ESDM, 2022). Hambatan utama adalah biaya pembangunan jaringan yang tinggi dan sulitnya distribusi logistik. Desa Modapia mengalami langsung bagaimana keterisolasian geografis menjadi penghalang modernisasi. Jarak tempuh yang jauh membuat pembangunan infrastruktur sering tertunda. Akibatnya, desa ini masih bergantung pada genset.
Penggunaan genset yang boros bahan bakar juga berdampak pada ekonomi keluarga. Sebagian besar pendapatan warga habis untuk membeli bensin atau solar. Padahal, dana itu seharusnya bisa dialokasikan untuk pendidikan atau kesehatan. Hal ini memperlihatkan bahwa ketidakadilan energi membawa konsekuensi multidimensi. Energi yang tidak merata berbanding lurus dengan ketidakmerataan kesejahteraan.
Isu listrik di Desa Modapia juga membuka diskusi lebih luas tentang keadilan energi di Indonesia. Pembangunan seharusnya tidak hanya terfokus di wilayah perkotaan atau pulau besar. Masyarakat di desa terpencil berhak mendapatkan pelayanan yang sama. Apalagi, listrik berkaitan dengan hak dasar manusia untuk hidup layak. Dengan demikian, pemerataan energi adalah bagian dari pembangunan berkeadilan.
Ke depan, Desa Modapia membutuhkan perhatian lebih serius dari pemerintah dan mitra pembangunan. Skema hybrid, yakni kombinasi antara jaringan listrik negara dan energi terbarukan, bisa menjadi solusi. Dengan demikian, warga tidak lagi sepenuhnya bergantung pada genset. Langkah ini juga sejalan dengan agenda transisi energi bersih yang dicanangkan pemerintah. Jika berhasil, Desa Modapia dapat menjadi contoh sukses elektrifikasi desa terpencil.
Kisah Desa Modapia menunjukkan bahwa listrik adalah kunci peradaban modern yang belum merata di seluruh Indonesia. Genset memang menjadi solusi darurat, tetapi tidak menjawab kebutuhan jangka panjang. Diperlukan strategi pembangunan energi yang inklusif, adil, dan berkelanjutan. Hanya dengan begitu, warga Modapia dapat keluar dari lingkaran keterbelakangan. Pada akhirnya, pemerataan listrik bukan sekadar pembangunan infrastruktur, melainkan pembangunan martabat bangsa.
Referensi:
- Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). (2022). Laporan Capaian Program Listrik Desa. Jakarta: ESDM.
- Sutanto, A., & Prasetyo, H. (2021). “Tantangan Elektrifikasi di Daerah Terpencil Indonesia.” Jurnal Energi dan Pembangunan, 15(2), 45–62.
- IEA (International Energy Agency). (2020). Energy Access Outlook 2020. Paris: OECD/IEA.
- Rahardjo, B. (2019). Energi untuk Keadilan Sosial: Studi Kasus Desa Terpencil di Indonesia. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.