Dalam sejarah sastra Arab, ada sebuah karya yang sering disebut sebagai permata tak tertandingi, yaitu Yatīmat al-Dahr fī Maḥāsin Ahl al-ʿAṣr. Buku ini ditulis oleh Abū Manṣūr ʿAbd al-Malik ibn Muḥammad al-Thaʿālibī, seorang ulama dan sastrawan besar dari abad ke-4 Hijriyah. Ia hidup antara tahun 961 hingga 1038 Masehi, masa yang sarat dengan perkembangan sastra dan budaya Islam. Karya ini dianggap sebagai mahakaryanya sekaligus ensiklopedia hidup para penyair. Melalui buku tersebut, al-Thaʿālibī mencatat wajah sastra zamannya secara detail.
Yatīmat al-Dahr disusun dalam empat bagian besar. Setiap bagian memuat biografi dan pilihan puisi dari para penyair terkemuka pada masanya. Penyair-penyair itu dibagi menurut wilayah: Syam, Mesir, dan Maghrib; Irak; wilayah Persia dan daerah pegunungan; serta Khurāsān dan Transoxiana. Dengan pembagian ini, pembaca dapat memahami ragam warna budaya dan sastra dari berbagai daerah. Pendekatan tersebut menjadikan buku ini unik sekaligus kaya perspektif.
Al-Thaʿālibī pertama kali menyusun karyanya pada tahun 384 H. Namun, ia tidak berhenti di situ. Dua puluh tahun kemudian, ia kembali menambahkan lampiran yang berisi biografi penyair baru. Hal ini menunjukkan bahwa buku ini merupakan karya yang terus berkembang seiring zaman. Ia berfungsi seperti arsip hidup yang merekam perjalanan sastra sepanjang era penulisnya.
Kekuatan Yatīmat al-Dahr bukan hanya pada isi biografi, tetapi juga pada pilihan puisinya. Setiap penyair yang ditampilkan seakan berbicara melalui bait-bait indah. Dengan cara ini, pembaca tidak hanya mengenal nama, tetapi juga jiwa dan gaya sastra mereka. Perpaduan antara catatan biografis dan teks puisi membuat buku ini terasa hidup. Itulah mengapa karya ini sering disebut sebagai “mutiara” yang tak lekang oleh waktu.
Meski begitu, perjalanan naskah ini hingga ke era modern tidaklah sederhana. Buku ini pernah dicetak beberapa kali, seperti di Damaskus pada 1304 H, Kairo pada 1934, dan Beirut pada 1983. Namun, sayangnya, edisi-edisi tersebut tidak mencantumkan naskah apa yang dijadikan rujukan. Padahal, naskah Yatīmat al-Dahr tersebar di berbagai perpustakaan Arab dan Eropa. Hal ini menimbulkan kritik dari para peneliti.
Pada tahun 2012, Muhammad Muḥyī al-Dīn ʿAbd al-Ḥamīd menyiapkan sebuah edisi kritis baru. Edisi ini disebut lebih serius dalam menyajikan teks kepada pembaca modern. Namun, masih ada pertanyaan apakah ia benar-benar menjelaskan naskah sumber yang digunakan. Ketidakjelasan ini membuat sebagian akademisi merasa perlu ada penelitian lanjutan. Kejelasan sumber sangat penting agar teks dapat dipahami secara lebih otentik.
Salah satu naskah yang paling menarik perhatian tersimpan di Perpustakaan Raghib Pasha, Istanbul. Naskah ini disalin pada tahun 1142 H atau 1729 M. Penyalinnya adalah ʿAbd Allāh ibn Salāma al-Muʾadhdhin. Teks ditulis dengan hiasan dan bingkai berwarna merah serta hitam, menambah keindahan visual. Keberadaannya menjadi bukti betapa tinggi nilai karya ini di mata para pecinta sastra.
Naskah Raghib Pasha tidak hanya indah secara fisik, tetapi juga kaya informasi tambahan. Di dalamnya terdapat catatan kepemilikan dari berbagai tangan. Marginalia atau koreksi pinggir halaman juga menunjukkan bahwa naskah ini dipelajari dengan cermat. Menariknya, naskah ini juga memuat potongan pengantar dan penutup buku. Ada pula tambahan dari seorang tokoh bernama Amīr Abū al-Faḍl al-Mīkālī.
Tambahan dari Amīr Abū al-Faḍl al-Mīkālī ini memperlihatkan bahwa teks sastra bisa hidup dari generasi ke generasi. Tidak hanya penulis aslinya, tetapi juga tokoh-tokoh lain ikut memberi kontribusi. Dengan begitu, Yatīmat al-Dahr menjadi karya kolektif dalam arti luas. Ia tidak pernah berhenti berkembang meski berabad-abad telah berlalu. Seakan-akan, setiap generasi punya bagian dalam menjaga keberadaannya.
Keberadaan naskah di Raghib Pasha hanyalah salah satu dari banyak versi. Naskah lain tersebar di perpustakaan-perpustakaan besar Arab dan Eropa. Sayangnya, belum semua naskah itu diteliti secara serius. Padahal, dengan membandingkan seluruh versi, kita bisa menemukan variasi penting dalam teks. Hal ini akan memperkaya pemahaman kita terhadap karya monumental ini.
Dari segi metode, al-Thaʿālibī berhasil menyajikan biografi sastra dengan gaya elegan. Ia tidak hanya menyebutkan nama penyair, melainkan juga memberikan penilaian terhadap karya mereka. Banyak puisi dipilih dengan cermat untuk mewakili keindahan khas masing-masing daerah. Dengan demikian, buku ini juga berfungsi sebagai antologi. Ia menjadi sumber rujukan utama bagi sejarah sastra Arab klasik.
Tak heran jika para peneliti modern menaruh perhatian besar pada Yatīmat al-Dahr. Karya ini menjadi semacam cermin bagi kehidupan budaya pada abad ke-4 H. Melalui biografi penyair, kita bisa membaca situasi sosial, politik, dan intelektual masa itu. Setiap bait puisi juga memberi gambaran tentang perasaan dan pikiran masyarakatnya. Dengan demikian, buku ini adalah dokumen sejarah sekaligus karya sastra.
Hari ini, berkat teknologi digital, beberapa naskah Yatīmat al-Dahr dapat diakses secara daring. Hal ini membuka peluang besar bagi para peneliti, mahasiswa, maupun pecinta sastra. Mereka dapat menelusuri halaman-halaman kuno tanpa harus bepergian ke perpustakaan jauh di Istanbul atau Kairo. Akses ini menjadi bentuk demokratisasi pengetahuan. Manuskrip yang dahulu hanya terbatas kini bisa dipegang siapa saja.
Keindahan Yatīmat al-Dahr tidak hanya terletak pada isi teks, melainkan juga pada perjalanannya. Dari abad ke-10 hingga abad ke-21, ia tetap menjadi bahan kajian penting. Meski lahir di masa klasik, pesonanya menembus batas waktu. Ia memperlihatkan bagaimana sastra mampu mengabadikan perasaan dan pikiran manusia. Inilah alasan mengapa ia disebut sebagai permata yang tak tertandingi.
Akhirnya, Yatīmat al-Dahr adalah warisan besar yang harus terus dijaga. Ia adalah saksi bisu dari zaman, wilayah, dan penyair yang pernah hidup. Melalui karya ini, kita bisa menyelami keragaman budaya dan keindahan bahasa Arab klasik. Lebih dari itu, ia mengingatkan bahwa sastra adalah jembatan antara masa lalu dan masa kini. Dan selama ada yang membacanya, mutiara ini akan terus bersinar.
Sumber: Mesut Idriz – SIFHAMS