Edit Content

Desa Pas Ipa: Adaptasi, Ketangguhan Sosial, dan Harapan di Tengah Ombak

Di ujung selatan Mangoli Barat terdapat sebuah desa pulau yang dikelilingi laut biru dan bukit hijau: Desa Pas Ipa. Menurut keterangan warga, nama desa tersebut berasal dari bahasa Kadai, pas berarti pulau, dan ipa berarti kenari: Desa Kenari. Lokasinya yang terpisah dari daratan Pulau Mangoli, menjadikannya salah satu kawasan pesisir dengan akses sangat terbatas di Kepulauan Sula.

Tidak ada pelabuhan resmi di desa ini, hanya ada dermaga sederhana yang hanya untuk perahu-perahu kecil, sehingga kapal yang datang harus berhenti di tengah laut. Penumpang dan barang harus naik/turun di tengah laut, kemudian diantar/jemput menggunakan perahu kecil ke/dari tepi pantai. Meski berisiko, warga telah terbiasa dengan cara itu — seolah menjadi bagian dari ritme hidup mereka sehari-hari.

Tim Ekspedisi Patriot Mangoli ketika pertama kali melewati titik pemberhentian ini menyaksikan aktivitas ini dengan takjub dan penuh haru. Dan saat ini, ketika tim harus melakukan evaluasi dan pemetaan di pulau ini, mereka merasakan dan mengalami langsung naik/turun penumpang di tengah laut menggunakan perahu (9/10/25). Tampak sederhana, tapi sangat berbahaya. Jika kehilangan fokus, maka barang bawaan dan/atau orang akan terjebur ke laut.

Setiap kali kapal tiba, pemandangan unik tersaji di pantai Pas Ipa. Warga berbondong-bondong menjemput atau mengantar keluarga dan menurunkan atau menaikkan barang. Anak-anak berlarian di tepi air, menonton perahu kecil yang berulang kali mengangkut penumpang dari tengah laut. Aktivitas sederhana ini menjadi semacam pesta kecil di tengah keterbatasan infrastruktur transportasi. Di sinilah, laut bukan sekadar batas, tetapi juga jembatan kehidupan bagi masyarakat Pas Ipa.

Namun, di balik dinamika kehidupan laut itu, keterbatasan infrastruktur menjadi tantangan besar bagi warga. Listrik hanya menyala selama 12 jam setiap hari, mulai pukul 18.00 sore hingga 06.00 pagi waktu setempat. Ketika pagi tiba, seluruh rumah tanpa listrik, dan warga mengandalkan cahaya matahari untuk beraktivitas. Sementara itu, sinyal telekomunikasi datang dan pergi, sering kali hilang sama sekali saat cuaca buruk. Kondisi ini membuat komunikasi dengan dunia luar menjadi hal yang tidak selalu pasti.

Bagi warga Pas Ipa, hidup dengan keterbatasan bukan hal baru. Mereka telah lama belajar untuk beradaptasi dengan keadaan yang serba sederhana. Meski demikian, keterbatasan listrik dan sinyal bukan berarti kehidupan terhenti. Saat malam tiba dan cahaya lampu mulai menyala, rumah-rumah terlihat seperti bintang di tepi laut. Dalam kesunyian malam Pas Ipa, suara ombak menjadi musik pengantar tidur yang paling setia.

Ketika siang datang, panas menyengat mengeringkan pasir di pantai, namun kehidupan tetap berdenyut. Para nelayan memperbaiki jaring, ibu-ibu menyiapkan makanan sederhana, dan anak-anak berlarian di halaman sekolah. Tak ada yang mengeluh meski listrik padam, sinyal hilang, dan jalan belum beraspal, namun relatif bagus. Bagi mereka, kehidupan bukan soal kemudahan, tapi soal keteguhan hati. Mereka percaya bahwa kesabaran adalah bentuk kekayaan yang paling nyata.

Sore hari di Pas Ipa adalah waktu yang istimewa. Saat matahari mulai turun, udara laut terasa sejuk dan langit berubah jingga. Anak-anak keluar rumah, membawa bola, net voli, dan tawa mereka. Listrik belum menyala, tapi suasana desa terasa hidup dengan suara sorak dan langkah kaki di tanah lapang. Di tengah segala keterbatasan, mereka menyalakan harapan dengan permainan sederhana. Tim Ekspedisi Patriot menyaksikan langsung suasana ini setelah beberapa menit yang lalu mengalami ketegangan ketika turun dari kapal, menaiki perahu dan menaruh barang di rumah singgah.

Pemandangan anak-anak bermain bola di bawah cahaya senja menjadi simbol ketangguhan Pas Ipa. Mereka tumbuh dengan semangat kebersamaan, belajar arti gembira tanpa bergantung pada teknologi. Sementara orang dewasa menatap laut dari kejauhan, menunggu kapal berikutnya yang akan datang membawa kabar dari luar pulau. Setiap sore menjadi pengingat bahwa kebahagiaan tak selalu datang dari hal besar. Kadang, cukup dari tawa anak-anak di tengah desa yang sederhana.

Walau sinyal internet jarang muncul, warga Pas Ipa tidak merasa terputus dari dunia. Mereka justru merasa lebih dekat satu sama lain. Pertemuan di tanah lapang menjadi momen penting untuk saling bertukar cerita dan kabar. Di tengah keterbatasan teknologi, komunikasi sosial tetap hidup dan hangat.

Tidak adanya pelabuhan membuat Pas Ipa sering kali tampak terisolasi dari luar. Namun, bagi warga, laut adalah jalan utama yang selalu terbuka. Mereka hafal ritme ombak dan tahu kapan waktu aman untuk berlayar. Kapal yang datang seminggu dua kali menjadi penghubung antara Pas Ipa dan dunia luar. Dengan cara itu, roda kehidupan terus berputar meski pelan.

Generasi muda Pas Ipa tumbuh dalam lingkungan yang menantang. Mereka belajar mandiri sejak dini, membantu orang tua, dan mengenal kerja keras dari laut dan kebun. Beberapa dari mereka bermimpi melanjutkan sekolah di kota, tapi tetap ingin kembali membangun desa. “Kami ingin listrik lebih lama dan sinyal yang kuat,” kata salah satu pemuda. “Tapi kami juga ingin Pas Ipa tetap damai seperti ini.”

Harapan warga sederhana: mereka tidak menuntut kemewahan, hanya akses dan perhatian. Infrastruktur yang lebih baik, listrik penuh waktu, dan dermaga yang mampu melayani kapal besar, sudah cukup bagi mereka untuk hidup lebih sejahtera. Mereka percaya, pembangunan tidak harus datang sekaligus. Asalkan perlahan dan pasti, setiap perubahan kecil berarti besar. Dan itulah bentuk ketangguhan sejati — bertahan sambil berharap.

Ketika malam kembali datang dan listrik mulai menyala, Pas Ipa kembali bercahaya. Suara anak-anak masih terdengar di kejauhan, bermain hingga lampu padam lagi tengah malam. Ombak memukul pantai seolah menyapa desa yang tak pernah menyerah. Di tengah gelap dan sunyi, kehidupan Pas Ipa tetap berdenyut lembut, penuh harapan dan keberanian.

Pas Ipa mungkin belum menikmati infrastruktur modern seperti desa lain di Mangoli. Namun, desa ini memiliki sesuatu yang lebih berharga: jiwa yang kuat dan hati yang tenang. Mereka tidak menunggu bantuan datang, mereka menciptakan kebahagiaan sendiri. Dari laut hingga lapangan kecil, dari gelap hingga cahaya 12 jam, mereka belajar bahwa harapan adalah energi yang tidak pernah padam.

Bagi mereka, setiap hari adalah perjuangan kecil yang bermakna. Setiap sore adalah perayaan sederhana atas keteguhan dan kebersamaan. Pas Ipa bukan hanya desa yang bertahan, tapi desa yang terus bermimpi. Di tengah ombak yang tak pernah diam, mereka tetap menyalakan harapan — satu lampu, satu tawa, satu langkah dalam cahaya yang setengah hari namun penuh kebermanfaatan.

 

 

 

Penulis: Ardiansyah BS (TEP UI)

Foto: Ardiansyah BS

Share:

Facebook
Twitter
Email
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Social Media

Popular Post

Get The Latest Updates

Subscribe To Our Weekly Newsletter

No spam, notifications only about new products, updates.
Kategori
On Key

Related Posts