Mangoli, Kepulauan Sula – Perjalanan darat Tim Ekspedisi Patriot dari Falabisahaya menuju Pelita menjadi bukti nyata betapa rapuhnya infrastruktur di Pulau Mangoli. Jalan utama yang seharusnya menghubungkan desa-desa di sepanjang jalur itu ternyata rusak parah. Lubang besar, jembatan darurat, hingga jalan yang hilang ditelan longsor mewarnai sepanjang rute. Waktu tempuh yang seharusnya singkat berubah menjadi berlipat ganda. Bagi masyarakat lokal, kondisi ini sudah dianggap biasa, meski sesungguhnya penuh risiko.
Tim Ekspedisi mencatat bahwa sepanjang jalur Falabisahaya–Pelita, hanya 10% jalan yang benar-benar mulus. Hampir setiap beberapa kilometer, kendaraan harus berhenti karena terhambat genangan lumpur. Situasi ini jelas menghambat mobilitas barang dan orang. Padahal, jalur ini merupakan salah satu urat nadi bagi perekonomian Mangoli.
Dengan kondisi jalan seperti ini, hilirisasi hanya terdengar seperti jargon yang jauh dari kenyataan. Bagaimana mungkin produk perkebunan atau hasil laut bisa dipasarkan dengan baik jika akses transportasi terhambat? Ongkos angkut menjadi tinggi, dan hasil panen tak jarang terbuang sia-sia. Situasi ini jelas membuat potensi daerah tidak berkembang.
Seorang warga yang ditemui tim mengungkapkan kekecewaannya. Ia bercerita bahwa anak-anak sekolah sering terlambat karena jalan putus akibat banjir. Tidak jarang mereka harus berjalan kaki berjam-jam melewati hutan dan sungai. “Kami seakan hidup di tempat yang terisolasi, padahal kami bagian dari republik ini,” keluhnya. Suara ini menggambarkan perasaan banyak warga Mangoli yang sudah lama menunggu perhatian pemerintah.
Selain masalah sosial, rusaknya infrastruktur juga berdampak langsung pada sektor ekonomi lokal. Pedagang yang ingin membawa barang ke pasar terpaksa menanggung kerugian besar. Hasil bumi seperti kopra, pala, dan cengkeh tidak bisa segera diangkut ke pelabuhan. Harga jual pun jatuh karena kualitas menurun selama perjalanan. Akibatnya, petani semakin sulit meningkatkan kesejahteraan.
Tim Ekspedisi Patriot menyoroti pentingnya percepatan pembangunan jalan di Mangoli. Jika jalur utama Falabisahaya–Pelita saja sudah tidak bisa diandalkan, bagaimana mungkin daerah ini bisa menarik investasi? Investor tentu ragu masuk ke wilayah yang aksesnya sangat terbatas. Tanpa jalan yang layak, potensi besar Mangoli hanya akan tersimpan sebagai data di atas kertas. Hilirisasi dan industrialisasi pun hanya akan jadi mimpi panjang.
Dalam catatannya, Tim Ekspedisi juga menyoroti minimnya pemeliharaan rutin. Jalan yang pernah dibangun dibiarkan rusak tanpa perbaikan berarti. Kondisi ini menunjukkan lemahnya perencanaan infrastruktur di tingkat daerah. Padahal, pemeliharaan jauh lebih murah daripada membangun kembali dari nol. Ketiadaan komitmen membuat kerusakan semakin parah dari tahun ke tahun.
Beberapa kali tim berteriak histeris merasakan mobil yang tidak stabil dan hampir terguling. Perjalanan darat yang penuh hambatan ini menjadi cermin keterlambatan pembangunan di daerah terpencil. Masyarakat butuh negara hadir secara nyata melalui pembangunan infrastruktur yang berkualitas. Ketika daerah lain sudah menikmati jalan tol dan jembatan megah, warga Mangoli masih berkutat dengan lumpur dan jalan putus. Kesenjangan ini menimbulkan pertanyaan besar tentang keadilan pembangunan. Apakah daerah terpencil memang harus terus menunggu tanpa kepastian? Apakah mimpi tentang hilirisasi hanya disiapkan untuk daerah tertentu saja?
Tim Ekspedisi Patriot menegaskan bahwa laporan perjalanan ini bukan sekadar catatan perjalanan biasa. Ini adalah panggilan agar pemerintah pusat dan daerah membuka mata. Infrastruktur bukan sekadar beton dan aspal, tetapi penopang utama kehidupan masyarakat. Tanpa jalan yang layak, semua wacana hilirisasi hanyalah mimpi yang tak akan pernah terwujud. Pulau Mangoli menunggu perhatian, dan waktunya adalah sekarang, bukan nanti. Dengan atau tanpa kunjungan kerja pejabat pemerintah pusat atau daerah, masyarakat kawasan transmigrasi Pulau Mangoli butuh kehadiran negara melalui pembangunan infrastruktur nyata yang tepat guna.
Penulis: Ardiansyah BS
Fotografer: Manneke Budiman