Belakangan ini, tetiba kata “turats” sering muncul di ruang publik, meski belum menjadi tema arus utama, apalagi sampai viral. Kemunculannya itu seiring dengan bangkitnya gairah sejumlah kyai muda Nahdlatul Ulama (NU) dalam merawat, mengkaji, dan mempublikasikan turats ulama Nusantara. Mereka menyebut gerakannya sebagai Nahdlat al-Turats (Kebangkitan Turats).
Terakhir, Presiden Jokowi dan Wapres KH Ma’ruf Amin dikabarkan secara khusus mengunjungi Pameran “Turats” Nusantara yang digelar pada Senin (31/01/2022) dalam rangka Pengukuhan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Masa Khidmat 2022-2027 dan Peringatan Hari Lahir Ke-96 NU di Balikpapan, Kalimantan Timur.
Dalam bahasa Arab, “turats” berarti warisan, sering dihubungkan juga dengan kebudayaan dan peradaban. Turats adalah sesuatu yang bernilai tinggi, khususnya berupa tulisan, karya sastra, dan pengetahuan yang diwariskan secara temurun dari generasi ke generasi. Dengan begitu, “Turats Ulama Nusantara” berarti merujuk pada warisan intelektual tertulis karya para ulama Nusantara, yang berisi pengetahuan tentang pandangan dan pemikiran keislaman, baik secara normatif maupun empirik menggambarkan hasil pergumulan penulisnya dengan konteks dan budaya lokal.
“Turats” dan literasi bangsa
Sejak lama saya meyakini bahwa bangsa kita amatlah unggul dalam hal literasi. Nenek moyang kita telah terbiasa menulis sejak ratusan tahun lalu, jauh sebelum kita “melék” baca tulis huruf Latin. Saya sering menyayangkan mereka yang berasumsi bahwa ukuran literasi kita adalah kemampuan baca koran.
Setidaknya sejak abad ke-14, leluhur kita sudah menulis dalam bahasa Sanskerta, menggunakan aksara Pallawa, Kawi, Jawa Kuno, Bugis-Makassar, hingga aksara Arab, Jawi, dan Pegon ketika Islam datang. Jauh lebih beragam dibanding Jepang, misalnya, yang hanya mewarisi tiga aksara: Kanji, Hiragana, dan Katakana.
Ketika Islam masuk ke Nusantara, tradisi tulis pun semakin menguat. Islam memang agama teks. Pemahaman umat Muslim terkait pesan-pesan keagamaan banyak didasarkan pada teks dalam kitab-kitab tertulis. Bahkan wahyu Tuhan (Alquran) juga adalah teks tertulis, turunannya melahirkan kitab tafsir, elaborasinya menghasilkan kitab hadis, fikih, tauhid, tasawuf, kalam, dan lainnya. Teks-teks turunan ini yang sering mengandung keunikan dan orisinalitas karena disampaikan sebagai respon atau adaptasi atas konteks lokal yang dihadapi penulisnya.
Konteks inilah yang melahirkan turats ulama Nusantara, yang bentuk fisiknya banyak dijumpai berupa naskah tulisan tangan (manuscript), meski sebagian lagi sudah dicetak. Merujuk UU Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan, manuskrip adalah satu di antara obyek kebudayaan yang wajib dijadikan sebagai landasan dalam mengembangkan nilai-nilai luhur budaya bangsa, demi terwujudnya persatuan dan kesatuan negara kita.
Turats ulama Nusantara adalah bukti dan indikasi bahwa dalam beragama, bangsa kita terbiasa dan memiliki literasi tinggi untuk memahami, mengolah, dan mendapatkan informasi dasar tentang suatu pemahaman keagamaan secara mengakar dari sumber tertulis, bukan sekadar mengandalkan informasi instan qala wa qila kata si fulan.
Argumentatif
Saya meyakini, gerakan Nahdlat al-Turats, atau Kebangkitan Turats ulama Nusantara, yang diinisiasi oleh para kyai muda NU pegiat kebudayaan harus dijadikan momentum bangkitnya peradaban Islam di Indonesia. Dengan jumlah penduduk Muslim terbesar di dunia, dan dengan limpahan kekayaan turats yang dimiliki, peradaban Islam Indonesia memiliki peluang berkibar di tingkat global seperti halnya peradaban Islam di Arab, Turki, dan Iran pada masa silam.
Lalu, apa manfaatnya untuk kita?
Selain untuk memperteguh jati diri bangsa, sesuai amanah UU Pemajuan Kebudayaan, revitalisasi turats ulama Nusantara juga akan berdampak pada tumbuhnya kepercayaan diri bahwa Muslim Indonesia memiliki pijakan kuat, otentik, kontekstual, dan argumentatif dalam menarasikan pemahaman keagamaan, serta dalam merespon isu-isu kekinian.
Beragama secara argumentatif menjadi barang langka di era disrupsi ini. Survei nasional Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Jakarta tentang Media and Religious Trends in Indonesia (MERIT) beberapa waktu lalu menunjukkan bahwa 84,15 persen responden mengaku mendapat pengetahuan agama dari televisi, sementara 64,6 persen responden lainnya mengaku mendapat pengetahuan agama dari media sosial.
Apa dampaknya? Salah satunya adalah menguatnya pemahaman keagamaan yang dangkal, “pas-pasan” dan cenderung mengikuti arus algoritma content yang lebih banyak tersedia di media sosial. Pasalnya, survei MERIT lainnya mengkonfirmasi bahwa dengung konservatisme lebih menguasai perbincangan keagamaan di dunia maya sebanyak 67,2 persen dibanding narasi-narasi moderat yang hanya tersedia sebanyak 22,2 persen.
Karena itu, saya memiliki rasa optimistis terhadap gerakan Nahdlat al-Turats yang lahir dari arus bawah kalangan pesantren ini. Sejak lama kita mengenal sejumlah ulama pesantren yang menjadi bagian dari lahirnya bangsa ini. Mereka berpengetahuan mendalam, berbudi luhur, bijak merespon permasalahan zaman, dan memiliki komitmen besar tidak hanya pada keagamaan melainkan juga kebangsaan.
Kekayaan argumen dalam bentuk turats yang para ulama tulis, baca, dan ajarkan di pesantren terbukti mampu memberikan kontribusi lahirnya generasi yang memiliki literasi keagamaan tinggi, serta berpengetahuan dan berperadaban yang dibutuhkan negeri ini. Pesantren yang menghidupkan dan menginternalisasi turats ulama Nusantara ini dipastikan tidak akan menjadi bagian dari gerakan penyebaran gerakan ekstremisme yang justru bertentangan dengan prinsip dan esensi beragama itu sendiri.
Apalagi, gerakan Nahdlat al-Turats melekat pada NU, sebuah organisasi kemasyarakatan terbesar yang didambakan oleh Presiden Jokowi untuk menjadi salah satu kekuatan besar dalam mempercepat penyelesaian persoalan-persoalan bangsa dan kemanusiaan (Kompas, 02/02).
Gerakan Nahdlat al-Turats memang baru awal, tetapi langkah seribu selalu dimulai dengan langkah pertama, perlu jabat tangan bersama mengawalnya. Selamat berjuang! ●
Sumber: Kompas