Oleh: Fadly Ibrahim al-Buni
Saat ini hampir setiap rumah tangga menyimpan mushaf al-Quran, bahkan ada yang memiliki mushaf lebih dari satu. Dinamika sains dan teknologi mendorong pula hadirnya banyak pilihan media untuk membaca dan mempelajari al-Quran dari versi cetak dengan beragam variasi sampai instrument berbasis digital.
Kondisi yang sangat berbeda jauh sebelum adanya mesin cetak pada awal abad 20. Jumlah mushaf yang beredar di masyarakat sangat terbatas. Di wilayah kerajaan bugis TellumpoccoE(Bone, Soppeng, Wajo) diperkirakan mushaf yang tersedia tidak lebih dari 50 mushaf. Bisa dibayangkan dengan jumlah penduduk dan persebaran wilayah yang cukup luas, hanya tersedia beberapa mushaf saja. Pada masa itu, penyalinan dan pengajaran al-Quran sangat bergantung pada ketekunan dan keikhlasan para ulama untuk berkarya dan mentransformasi pengetahuan. Situasi tersebut, menjadi salah satu faktor berpengaruh terhadap bangunan tradisi keberislaman masyarakat bugis.
Sangat sedikit mushaf yang teridentifikasi penulisannya dilakukan di Sulawesi, karena akses tinta dan kertas eropa cukup terbatas pada masa itu. Sebagian besar mushaf al-Quran ditulis di Mekah, pada periode para ulama tersebut “hanyut” dalam pusaran tradisi intelektual islam di Haramayn.
Berdasarkan publikasi terdapat 18 mushaf kuno yang ditulis oleh ulama bugis pada rentang abad 18 s/d 19. Sebanyak 5 mushaf tersimpan di luar Sulawesi (Kanada, Malaysia, Kalimantan, Bali dan Ternate). 15 mushaf sisanya tersebar di Sulawesi baik disimpan oleh keturunan penyalin maupun di museum. 15 Mushaf yang ditulis pada abad 19 tersebut disalin oleh 8 ulama bugis yang menjadi rujukan masyarakat pada zamannya.
Mushaf tertua berada di Majene Sulbar yang ditulis oleh H. Ahmad bin Syekh al-Khatib Umar al-Bugisi al-Pammani (1832) yang berasal dari Pammana Wajo. Selanjutnya mushaf di Tolitoli Sulawesi Tengah yang disalin oleh guru Kannu (?) yang juga berasal dari Pammana Wajo (1836). Ulama bugis lainnya yang cukup produktif menyalin mushaf adalah H. Ahmad Umar bin Syekh Abul Hayyi al-Bugisi yang berasal dari Pompanua Bone. 2 karyanya bertarikh 1841 disimpan oleh AGH Ahmad Yusuf Surur di Sengkang Wajo, dan 1 mushaf berada di museum Ballalompoa Gowa.
Ditemukan pula mushaf di Sinjai yg disalin oleh Syekh Abdul Majid bin Syekh Abdul Hayyi al Bugisi (1845) yang berasal dari Pompanua Bone. Puangta Abdul Majid merupakan adik bungsu dari H. Ahmad Umar bin Syekh Abdul Hayyi al Bugisy. Ia termasuk ulama bugis yang cukup banyak meninggalkan karya berupa kitab syarah dan salinan kitab guru-gurunya. Berselang setahun dari umur mushaf ini, terdapat pula mushaf di Bone yang disalin oleh H. Abdussalam al-Bugisi al-Pammani (1846) yang juga berasal dari Pammana.
Seorang imam di Bone bernama H. Sufyan as-Suri al-Imam al-Buni (1872) juga menyalin mushaf, dan disimpan di museum La Galigo Makassar. Imam lainnya yang menyalin mushaf adalah H. Mu’izuddin bin H. Hasanuddin imam Tancung (1846), mushafnya berada di Museum Batara Tua di Palopo. Di tempat yang sama juga tersimpan karya Syekh Zainal Abidin bin Syekh al-Khatib Umar al-Bugisi al-Pammani (1855). Karyanya yang lain bertahun 1865 disimpan oleh keturunan Syekh Abdurrahman Cambang Imam Timurung di Sinjai, dan satu mushafnya bertarikh 1887 dirawat oleh keturunannya di Pompanua Bone. Gurutta Zainal Abidin (Puang Guru Senong) merupakan adik dari H. Ahmad bin Syekh al_khatib Umar al-Bugisi al-Pammani. Beliau termasuk ulama bugis yang sangat produktif menyalin al-Qur’an dan beberapa kitab. Khatnya yang sangat rapih menjadi daya tarik bagi raja-raja di Sulawesi.
Yang menarik dari 8 ulama penyalin mushaf tersebut, 6 diantaranya merupakan satu rumpun keluarga dan berasal dari 2 daerah yang bertetangga yakni Pompanua (Bone) dan Pammana (Wajo). Menurut silsilah AGH Yusuf Surur, bahwa pada jalur ibu silsilah mereka bersambung dengan La Orowane Arung Timurung dan pada jalur bapak bertemu dengan La Sikati To Palettei Rangreng Bentengpola Wajo. Mereka lebih memilih menjadi bagian dari parewa syara’ dan mewakafkan dirinya untuk menguatkan dakwah islam di tanah Bugis.
Ulama-ulama tersebut menghabiskan waktunya bertahun-tahun di Mekah, kemudian pulang ke kampungnya membentuk halaqah dan zawiyah. Dari pola dakwah ini selanjutnya secara kewilayahan bermetamorfosis menjadi pusat tradisi keilmuan islam di tanah bugis pada abad 19. Hal ini dievidensi dengan banyaknya naskah tulisan tangan (manuscript) yang menjadi legacy peradaban mereka. Pada kolofon naskah disebutkan tempat penulisan dan nama daerah yang dinisbatkan di belakang nama penulis seperti al-Bugisi, al-Buni (Bone), al-Pammani (Pammana), dll.
Semoga ketekunan dan keikhlasan mereka untuk membumikan al-Quran menjadi wasillah turunnya rahmat Allah SWT, dan Allah SWT berkenan menurunkan kembali ke tengah-tengah kita sebagian berkah yang pernah direngkuhnya, sebagian dari energi spiritual yang pernah Ilahi limpahkan padanya…. Amiin yra.