Edit Content

Melacak Sanad dan Matan Hadits yang Hilang: Pentingnya Studi Filologis

Oleh: Menachem Ali

Imam Ibnu Jarir at-Thabari dalam kitab Tafsirnya berjudul “Jami’ al-Bayan fi Ta’wil al-Qur’an” juz XI, hlm 472 telah meriwayatkan takwil ayat QS. adz-Dzariyat 51:47 yang berasal dari Ibnu Abbas (w. 68 H./generasi sahabat), Mujahid, Qatadah, Manshur, Ibnu Zaid, dan Sufyan ats-Tsauri (w. 161 H./generasi tabi’in). Pada pembahasan ayat tersebut, Imam at-Thabari (w. 310 H) menyitir sejumlah 6 hadits penting, dan hadits-hadits ini ternyata diakui validitasnya sebagai hadits mutawatir oleh para ulama ahli Tafsir dan ulama ahli Hadits dari kalangan generasi Salaf dan generasi Khalaf, dan hal itu diriwayatkan dalam kitab-kitab mereka.  Misalnya, Imam Ibnu Katsir (w. 774 H), murid Ibnu Taymiyah (w. 728 H) juga mengakui kesahihan hadits-hadits kutipan Imam Ibnu Jarir at-Thabari (w. 310 H) pada pembahasan takwil ayat tersebut. 

 

Berdasarkan pernyataan Ibnu Katsir yang menyebut nama-nama handal tersebut, yakni Ibnu Abbas, Mujahid, Qatadah, Sufyan ats-Tsauri etc., maka Imam Ibnu Katsir secara tegas mengakui status kemutawatiran hadits tersebut, sebagaimana yang dijelaskan dalam kitab Tafsirnya. Hal ini merupakan bukti adanya wacana pengakuan tentang validitas hadits mutawatir terkait ayat QS. adz-Dzariyat 51:47 yang bersanad pada perawi-perawi handal itu ternyata telah bertahan selama 5 abad, atau tepatnya telah bertahan selama 464 tahun, yang dihitung sejak masa kehidupan Imam Ibnu Jarir at-Thabari (w. 310 H) hingga masa kehidupan Imam Ibnu Katsir (w. 774 H). 

 

Bila Imam Ibnu Jarir at-Thabari (w. 310 H) mengutip secara lengkap sanad hadits dari era generasi sahabat hingga era generasi beliau beserta kutipan matan (redaksi) haditsnya,  maka Imam Ibnu Katsir (w. 774 H) hanya menyebut sanad era generasi sahabat saja beserta kutipan matan (redaksi) haditsnya. Sementara itu, Imam Jalaluddin al-Suyuthi (w. 911 H) hanya mengutip matan haditsnya saja tanpa menyebut sanad haditsnya. Dalam hal ini, penukilan Imam as-Suyuthi terhadap “matan hadits” tersebut tidak ada perbedaan lafadz dengan redaksional teks hadits yang dikutip oleh Imam Ibnu Katsir maupun Imam Ibnu Jarir at-Thabari. 

 

Dengan kata lain, redaksi hadits atau “matan hadits” yang merupakan lafadz asli riwayat Imam Ibnu Jarir at-Thabari ternyata tidak ada perbedaan redaksi  dengan lafadz versi Imam as-Suyuthi.  Redaksi hadis (matan hadits)  yang dinukil oleh Imam as-Suyuthi memang tanpa disertai sanad, tetapi  ada “matan hadis” yang sama, yang redaksi haditsnya dinukil oleh Imam Ibnu Jarir at-Thabari dan disertai sanad. 

 

Redaksi hadits manakah yang lebih utama untuk kita jadikan hujah? Apakah redaksi (matan) hadits dari Imam at-Thabari, atau Imam Ibnu Katsir atau Imam as-Suyuthi? Tentu saja jawabannya adalah berhujah dengan redaksi hadis yang memiliki sanad. Hal ini sebagaimana penjelasan Al-Imām Ibnul-Jawzī yang dinukil oleh Al-Imām Jalāluddīn as-Suyūṭī (w. 911 H) dalam kitabnya Tadrīb Ar-Rāwī fī Syarḥ Taqrīb An-Nawāwījuz I hlm. 327. Namun demikian, dalam kitab tafsirnya, Al-Imam Jalaluddin as-Suyuthi (w. 911 H) justru hanya mencantumkan matan haditsnya saja. Hal ini bertujuan karena hadits tersebut telah dianggap sudah “masyhur” dan  menjadi semacam “milik publik.”

 

Namun demikian, ada beberapa pertanyaan serius dalam hal ini. Apakah kutipan matan hadits dari Imam as-Suyuthi (w. 911 H) tersebut dianggap dhaif? Imam as-Suyuthi dalam hal ini memang hanya mengutip matan haditsnya, dan tanpa menyertakan sanad hadits. Apakah matan hadits tersebut langsung divonis palsu?  Apakah hal itu cukup membuktikan bahwa takwil ayat tersebut invalid alias tidak shahih? Tentu saja tidak. Justru hal ini semakin membuktikan adanya popularitas keabsahan sanad hadits dan matan hadits tersebut. Jadi, meskipun tidak disebutkan sanad haditsnya oleh ulama generasi berikutnya, hal itu tidak menjadi masalah.

 

Itulah sebabnya Imam as-Suyuthi (w. 911 H) sebagai ulama generasi abad ke-10 H., hanya meringkasnya saja dalam kitab Tafsirnya. Dengan demikian, takwil ayat Qs. adz-Dzariyat 51:47 justru mengindikasikan keakuratannya; dan ini telah bertahan selama 601 tahun, dihitung sejak masa kehidupan Imam at-Thabari (w. 310 H) hingga masa kehidupan Imam Jalaluddin as-Suyuthi (w. 911 H). Imam as-Suyuthi menjelaskan dalam kitabnya Tafsir al-Jalalayn (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah,  1997), hlm. 522.

 

Sementara itu, Imam Bukhari (w. 256 H), telah menulis dalam kitab Shahih-nya sebuah hadits dengan sanad yang lengkap. Berdasar pada sanad hadits tersebut, Imam Bukhari merujuk melalui perawi handal, yakni Abdullah bin Yusuf hingga kepada Abu Hurairah. Hadits ini ternyata matan-nya ada yang hilang, khususnya terkait makna يضحك الله(yadhkhaku Llah), lit. “Allah tertawa.” Menurut Imam al-Baihaqi (w. 458 H) dalam karya “magnum opus-nya” yang berjudul kitab al-Asma’ wa al-Shifat (كتاب الاسماء والصفات), beliau menjelaskan bahwa pernyataan Imam Bukhari terkait matan utuh dari hadits tersebut telah dijelaskan oleh Imam Bukhari sendiri. Imam al-Baihaqi (w. 458 H) mengutip pernyataan Imam Bukhari (w. 256 H) dengan  menyebut sanadnya bersumber dari Imam Bukhari. 

 

Apakah pernyataan Imam al-Baihaqi (w. 458 H) yang mengutip pernyataan Imam Bukhari (w. 256 H) ini didukung adanya kutipan yang sama dari dokumen lain? Apakah “matan” hadits secara lengkap berupa takwil terhadap hadits tersebut dapat dilacak sumbernya pada dokumen-dokumen lainnya? Apakah ada ulama hadits yang mengutip pernyataan Imam Bukhari tersebut selain dari kutipan Imam al-Baihaqi? 

 

Imam Bukhari dan Imam al-Baihaqi hidup di zaman yang berbeda, dan keduanya  tidak pernah bertemu dalam 1 periode, dan ternyata ada selisih waktu sekitar 202 tahun. Imam Bukhari hidup pada abad ke-3 H., sedangkan Imam al-Baihaqi hidup pada abad ke-5 H. Apakah dalam rentang waktu 202 tahun tersebut ada dokumen lainnya yang dapat dijadikan sebagai “externe evidentie”? Kasus ini sejajar dengan persoalan kutipan Imam as-Suyuthi (w. 911 H) yang mengutip matan hadits dari Imam at-Thabari (w. 310 H).

 

Penjelasan Imam al-Baihaqi (w. 458 H) yang mengutip pernyataan Imam Bukhari (w. 256 H) tersebut dapat dirujuk silang melalui dokumen penting, yakni  kitab  Fath al-Bariy bi-Syarh Shahih Al-Bukhari yang  ditulis oleh al-Imam Ibnu Hajar al-‘Asqalani (w. 852 H). Anda dapat merujuk kitab Fath al-Bariy bi-Syarh Shahih Al-Bukhariversi cetakan tertua, yang diterbitkan oleh penerbit Bulaq di Mesir.  

 

Versi terbitan Bulaq ini merupakan versi salinan yang disebut sebagai versi facsimile. Berdasar pada kolofonnya kitab ini ternyata telah dicetak pada tahun 1300 H. Kitab ini merupakan cetakan pertama kitab “Fath al-Bariy bi-Syarah Shahih Bukhari“,  dan dicetak berdasar pada keaslian manuskripnya yang sangat terjaga. Keotentikan data yang terdokumentasi pada manuskrip kuno ini penting bagi peneliti, terutama untuk melacak tulisan asli sang penulis sebagai teks otograf-nya.

 

Jarak zaman penulisan teks kitab Shahih Bukhari karya  Imam Bukhari (w. 256 H) dengan penulisan teks kitab al-Asma’ wa al-Shifat karya Imam al-Baihaqi (w. 458 H) hanya terpaut 202 tahun. Sementara itu,  jarak zaman penulisan teks kitab al-Asma’ wa al-Shifatkarya Imam al-Baihaqi (w. 458 H) dengan penulisan teks kitab Fath al-Bariy bi-Syarh Shahih Al-Bukhari karya al-Imam Ibnu Hajar al-Asqalani (w. 852 H) terpaut 394  tahun. Menarikya, edisi tertua penerbitan kitab Syarh Shahih Bukhari tersebut diterbitkan pasca 448 tahun setelah wafatnya Imam Ibnu Hajar al-‘Asqalani. Jadi, cetakan kitab Syarh Shahih Bukhari terbitan pertama ini usianya sekitar 140-an tahun lebih.

Tag :

Share:

Facebook
Twitter
Email
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Social Media

Popular Post

Get The Latest Updates

Subscribe To Our Weekly Newsletter

No spam, notifications only about new products, updates.
Kategori
On Key

Related Posts